JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyentil pimpinan TNI-Polri yang berkali-kali berdalih bentrok antara prajurit TNI dan anggota polisi hanya merupakan kesalahpahaman.
Terbaru, prajurit TNI menyerang Mapolres Jayawijaya, Papua, pada Sabtu (2/3/2024) malam dan dianggap hanya kesalahpahaman oleh para pimpinan.
Menurut Fahmi, pernyataan pimpinan TNI-Polri yang menyebut kejadian bentrok seperti itu sebagai kesalahpahaman menandakan mereka menyederhanakan masalah.
"Saya ingin menyoroti komentar pimpinan TNI dan Polri setempat pasca-insiden penyerangan dan perusakan fasilitas Polres Jayawijaya oleh sejumlah oknum TNI kemarin. Menurut saya, komentar yang lagi-lagi menyebut bahwa apa yang terjadi itu merupakan bentuk kesalahpahaman, adalah komentar yang bertendensi menyederhanakan masalah," ujar Fahmi saat dimintai konfirmasi, Kamis (7/3/2024).
"Kita tahu bahwa insiden semacam itu bukan baru pertama kali terjadi dan terus berulang di berbagai daerah, termasuk di Papua," kata dia.
Baca juga: Prajurit TNI Serang Polres Jayawijaya, KSAD Maruli: Emosi Sesaat Anak Muda...
Fahmi menyampaikan, dalam banyak kasus oknum TNI dan polisi, akar masalah sebenarnya adalah superioritas, arogansi, egosektoral dan kecemburuan yang secara sengaja atau tidak, telah terpompa berlebihan sehingga menimbulkan ekses dan terimplementasi secara kurang tepat.
Dia bahkan menyebut TNI-Polri memang didesain sebagai alat kekerasan negara dalam rangka menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, melindungi masyarakat, memelihara keamanan, dan menegakkan hukum.
"Sebagai 'alat pemukul', TNI dan Polri ditempa untuk bermental juara. Mereka juga didoktrin bahwa kekalahan adalah hal yang memalukan, karena itu harus memiliki mental superior dan arogansi untuk menghadapi lawan atau musuh," kata Fahmi.
Menurut dia, hal tersebut wajar, mengingat mereka memang disiapkan untuk mampu menangkal setiap ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan negara.
Selain itu, TNI-Polri harus menghentikan gangguan keamanan, menjaga ketertiban, dan menindak perbuatan melawan hukum.
Baca juga: Bertemu Prabowo di Kantor Kemenhan, AHY: Beri Selamat Jenderal TNI
Masalahnya, kata Fahmi, superioritas, arogansi, dan ego sektoral itu ternyata juga memunculkan kecemburuan satu sama lain, misalnya terkait polisi yang diberi kewenangan lebih berupa penegakan hukum.
"Terutama menyangkut isu kesejahteraan dan kewenangan. Selain juga memelihara potensi terjadinya kekerasan terhadap warga sipil," kata dia.
Namun, jika ingin menghilangkan budaya kekerasan di lingkungan TNI-Polri, Fahmi berpendapat, itu gagasan yang naif.
Sebab, menurut dia, baik anggota polisi maupun TNI memang ditempa untuk mampu melakukan kekerasan yang sepatutnya.
Oleh karena itu, hal yang mungkin dilakukan, yaitu meminimalkan peluang tindakan impulsif dan kekerasan eksesif.