JAKARTA, KOMPAS.com - Isu mengenai skenario pembentukan koalisi besar jangka panjang dianggap sulit terwujud lantaran tidak bakal mampu menampung kepentingan seluruh kelompok.
"Yang agak mengherankan menurut saya adalah koalisi jangka panjang, 25 tahun. Itu perlu kita perhatikan betul," kata peneliti politik Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Antonius Made Tony Supriatma, dalam program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Senin (4/3/2024).
Made meragukan isu mengenai pembentukan koalisi permanen jangka panjang bakal benar-benar terjadi.
Penyebabnya menurut dia adalah kepentingan elite politik dan masyarakat bakal cepat berubah sesuai dengan perkembangan zaman, dan ada kemungkinan koalisi besar jangka panjang itu tidak mampu menampung semuanya.
Baca juga: Sudirman Said Khawatir Ada Skenario Seluruh Parpol Jadi Koalisi Pemerintah
Selain itu, kata Made, melihat dari gaya politik di Indonesia, isu skenario koalisi besar jangka panjang itu kemungkinan tidak bakal berumur panjang lantaran benturan kepentingan di internal juga diperkirakan bakal terjadi.
"Kalau menurut saya, kalau prosedurnya normal, ada pergantian elite dan sebagainya, enggak perlu lah dibikin permanen seperti begitu ya," ucap Made.
Made mengatakan, di dunia memang ada kelompok politik atau partai politik yang menguasai pemerintahan sebuah negara dalam jangka panjang.
Baca juga: Soal Wacana Koalisi Besar di Pemerintahan ke Depan, Anies: Pemilu Belum Selesai
Dia mengambil contoh Partai Liberal Demokrat (LDP) di Jepang yang berkuasa sejak 1955 sampai saat ini, meski sempat mengalami jeda karena kalah pada 1993-1994 dan 2009 sampai 2012.
Made juga mengambil contoh soal kedigdayaan Partai Tindakan Rakyat (PAP) di Singapura. Partai politik yang didirikan mendiang Lee Kuan Yew pada 1961 itu selalu memenangkan Pemilu di Negeri Singa.
"PRI (Partai Revolusioner Institusional) di Meksiko itu berkuasa lama sekali, kemudian kalah dan sampai sekarang enggak pernah menang lagi," ujar Made.
Made menyarankan supaya terdapat 2 partai politik besar yang berada dalam posisi berhadapan di eksekutif sebagai pemerintahan, dan legislatif sebagai oposisi supaya praktik demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik dan sehat.
Baca juga: Pakar Anggap Isu Skenario Koalisi Besar Mirip Politik Dagang Sapi
Wacana skenario itu disampaikan oleh Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said. Dia mengaku mendengar bahwa akan ada skenario agar seluruh partai berada di koalisi pemerintahan ke depan.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Sudirman merasa khawatir jika skenario itu terlaksana maka dinilai bisa menurunkan makna demokrasi di Indonesia.
"Bahkan, sudah mulai ada bisik-bisik, sudah seluruh partai dimasukkan saja ke dalam satu koalisi besar, permanen, jangka panjang. Tinggal satu atau dua ditinggalkan di luar," kata Sudirman dalam acara diskusi bertema "Pemilu Terburuk dalam Sejarah Indonesia, Akankah Kita Terpuruk?" di Hotel Grandhika, Jakarta Selatan, Sabtu (2/3/2024) pekan lalu.
Sudirman mengatakan, itu benar-benar terwujud, Sudirman percaya Indonesia akan berada dalam kondisi tidak bisa diperbaiki lagi.
"Yang saya sebut tadi bisa masuk dalam kategori unfixable, tidak bisa diperbaiki," ujar Co-Captain tim pemenangan Anies-Muhaimin itu.
Baca juga: Disebut Komitmen Gunakan Hak Angket Kecurangan Pemilu, PPP: Kami Serius Mengawal Demokrasi
Menurut Sudirman, bagi para penguasa saat ini, gaya politik dinasti bisa menjadi berkah, karena memiliki keleluasaan untuk melanjutkan kekuasaan.
Namun, politik dinasti dan pelanggaran etika yang dibiarkan dinilai tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi Indonesia, khususnya terkait persoalan penegakan hukum.
"Karena PR (pekerjaan rumah) kita adalah soal gap (celah), soal keadilan sosial, soal penegakan hukum, maka hal-hal yang menjadi PR kita tidak akan bisa diselesaikan," kata Sudirman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.