SELAIN secara fisika, kimia dan biologi, makanan adalah suatu benda/kelompok benda yang sebenarnya juga bisa dilihat dari sudut pandang yang tidak biasa: alat politik.
Politik, merujuk pada seringkas-ringkasnya definisi, adalah segala upaya yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai, mempertahankan atau bahkan memperluas kekuasaan.
Melihat makanan sebagai alat politik, dengan demikian merupakan cara untuk melihat keterkaitan antara makanan dan kekuasaan.
Tulisan ini berupaya melakukan elaborasi atas fungsi-fungsi politik dalam makanan sebagaimana disampaikan tersebut.
Untuk mempermudah, pendalaman akan dilakukan dengan memisahkan eksplanasi ke dalam setidak-tidaknya 3 (tiga) ranah di mana unsur-unsur politik biasa ditemukan, yaitu di masyarakat, intermediari, dan negara.
Di ranah ini, setidak-tidaknya, fungsi politis makanan bisa terbagi menjadi tiga. Pertama, makanan ternyata memiliki fungsi sebagai penegas tingkat ekonomi masyarakat.
Makanan yang dijual di restoran-restoran mahal, misalnya, yang dari namanya saja biasanya sudah eksklusif, tentu saja hanya mungkin dijangkau oleh sekelompok/segelintir orang dengan kemampuan finansial memadai.
Sebaliknya, makanan rakyat yang mudah dijumpai di angkringan, pecel lele atau warteg akan bisa dijangkau oleh lebih banyak masyarakat karena tidak mempersyaratkan kemampuan keuangan tertentu.
Kedua, makanan sebagai alat untuk menunjukkan suatu preferensi kelompok tertentu. Atau dengan kata lain, makanan dalam hal ini berfungsi sebagai representasi dari suatu value/keyakinan yang dimiliki oleh komunitas terbatas.
Sayur lodeh tujuh warna misalnya, adalah makanan yang masih dipercaya, setidaknya oleh sekelompok kecil masyarakat di Bantul, Yogyakarta, sebagai penolak bala.
Ketiga, makanan juga berfungsi untuk menunjukkan kekhasan sekaligus kekuatan karakter suatu komunitas di dalam masyarakat sebagai modal bargain politik.
Bakso Wonogiri, tahu sumedang dan lunpia Semarang adalah beberapa contohnya. Biasanya, semakin “endemik” makanannya, akan semakin tinggi pula nilai politiknya.
Seorang kepala daerah di Palembang/Sumatera Selatan, sebagai contoh, tentu tidak akan tinggal diam apabila suatu kelompok dari daerah nan jauh di sana tiba-tiba melakukan klaim atas kepemilikan empek-empek.
Indikator kasta ekonomi, representasi value dan modal tawar menawar yang diproduksi oleh makanan sebagaimana disampaikan tersebut adalah topik-topik yang demikian inheren dengan kekuasaan.
Ketiganya menunjukkan tingginya keterkaitan dan keterikatan masyarakat terhadap sistem politik. Kasta ekonomi memberi konfirmasi atas sistem politik Indonesia yang masih plutokratik.