TENTU menarik mengikuti dinamika relasi politik antara Presiden Joko Widodo dengan PDIP, partai pemenang pemilu yang mengusungnya hingga di karier politik tertinggi kekuasaan di negara-bangsa.
Menarik karena di ujung kekuasaannya pula, Jokowi, bukan makin dekat dan kuat relasinya dengan partai yang turut membesarkannya itu, justru sebaliknya merenggang, bahkan boleh jadi telah berpisah jalan.
Pisah jalan Jokowi - PDIP makin jelas dan kentara pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-51 PDIP, 10 Januari 2024, jelang pelaksanaan pemilu.
Jokowi yang setiap tahun hadiri HUT PDIP, kali ini tak nampak, tak kirim karangan bunga, pun tak berikan ucapan selamat melalui video atau media massa.
Sesuatu yang janggal, ibarat anak kandung yang tak hadiri perayaan ulang tahun pernikahan orangtuanya, padahal itu sudah menjadi agenda rutin tahunan.
PDIP melalui Chico Hakim, mengaku pihaknya sengaja tak mengundang Jokowi, karena sudah tahu Jokowi tak bakal hadir, sebab akan melawat sejumlah negara.
"Bahwa presiden ada kepentingan untuk pergi ke luar negeri sehingga kami tidak mengundang beliau," kata Chico (Kompas.com, Rabu,10 Januari 2024).
Sementara Jokowi tetap mengagendakan ke luar negeri, meski tentu sudah tahu kalau partai-nya itu akan anniversary. Bisa jadi adalah kesengajaan.
Hal ini menjadi satu realitas politik yang turut mengonfirmasi kian memburuknya hubungan Jokowi dengan PDIP, dan sudah menjadi rahasia publik.
Relasi Jokowi - PDIP benar-benar telah berada di titik nadir. Sudah tak ada titik temu, PDIP kecewa, marah, air susu dibalas tuba oleh Jokowi dan keluarganya.
Kecewa berat, bukan saja karena Jokowi memberi restu kepada putranya Gibran Rakabuming Raka hingga ikut dalam kandidasi pilpres melawan PDIP, tapi prosesnya sendiri melukai rasa keadilan publik.
Skandal di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan Anwar Usman, adik ipar Jokowi, atau paman Gibran, hingga diturunkan dari Ketua MK karena melanggar etik adalah biang kerok, akan tercatat dalam sejarah politik negeri ini.
Partai dengan diksi ‘demokrasi’ dalam namanya itu (PDIP), dan punya sejarah kuat dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi, tentu saja menolak, emoh atau ogah mendukung suatu proses yang notabene menabrak nilai demokrasi.
Frame relasi politik Jokowi - PDIP tentu saja semakin menarik untuk disimak, terutama bila mau dilihat atau dipahami dalam optik etika politik.
Etika politik adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik yang berlandaskan kepada etika. Etika sering pula disamakan dengan moral.