Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat: Negara Berhak Tuntut Ganti Rugi ke Lukas Enembe, tetapi Pembuktiannya Sulit

Kompas.com - 29/12/2023, 09:29 WIB
Irfan Kamil,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyampaikan, pertanggungjawaban pidana seorang terdakwa kasus dugaan korupsi gugur setelah ia meninggal dunia.

Hal ini disampaikan Fickar menanggapi perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Lukas Enembe meninggal dunia dalam perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (26/12/2023).

"Dengan meninggalnya seseorang, 'in casu' Lukas Enembe, maka semua tuntutan pidana terhadapnya hapus dengan sendirinya, termasuk tuntutan pudana mengembalikan uang hasil korupsi," ungkap Fickar kepada Kompas.com, Kamis (28/12/2023).

Baca juga: Kerusuhan Terjadi Saat Arak-arakan Jenazah Lukas Enembe di Jayapura Papua, Apa Penyebabnya?

Fickar pun menyampaikan, mekanisme soal gugurnya pertanggungjawaban pidana telah diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP).

Namun demikian, negara bisa menuntut secara perdata jika mempunyai bukti bahwa tindakan terdakwa yang telah meninggal dunia telah menimbulkan kerugian negara.

Untuk menuntut hal ini, negara harus bisa membuktikan secara langsung adanya aset negara yang telah diambil dan dibaliknamakan atas nama terdakwa atau kekuarganya.

"Pertanggungjawaban pidana itu bersifat pribadi, tanggung jawabnya tidak bisa beralih atau diwariskan pada kekuarganya. Karena itu, jika negara menghendaki aset hasil korupsi yang dikuasai ahli warisnya menjadi tidak mudah," kata Fickar.

"Sulit membuktikan langsung bahwa adanya aset hasil dari perbuatan pidana korupsi karena tidak lagi dapat dibuktikan jika terdakwa atau pelakunya sudah meninggal sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum pasti," ucap dia.

Baca juga: Ricuh Saat Kedatangan Jenazah Lukas Enembe di Papua, Mahfud Minta Aparat Tak Represif

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjatuhkan hukuman terhadap Lukas Enembe menjadi 10 tahun penjara dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

Dalam putusannya, PT DKI mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman selama delapan tahun penjara.

Hukuman ini diubah setelah Majelis Hakim Tinggi menerima upaya hukum banding yang diajukan Lukas Enembe dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 10 tahun,” demikian bunyi putusan dikutip dari laman Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Kamis (7/12/2023).

Adapun putusan ini diketuk pada Kamis (6/12/2023) oleh majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Tinggi Herri Swantoro dengan anggota Hakim Tinggi Anthon R Saragih dan Brhotma Maya Marbun.

Dalam pertimbangannya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai Lukas Enembe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai Gubernur Papua 2013-2022.

Baca juga: Jenazah Lukas Enembe Masih Diarak, Pemakaman Batal Digelar Hari Ini

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com