JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan di lingkungan Mahkamah Konstitusi (MK) masih berlanjut setelah putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diketuk.
Putusan nomor 90 ini berujung pemecatan Anwar Usman dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan hasil sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dua pekan lalu.
Terbaru, Anwar dilaporkan kembali ke MKMK oleh Kelompok Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada Kamis (23/11/2023).
Pelaporan terhadap Anwar Usman ke MKMK berkaitan dengan pernyataannya pada 8 November 2023.
Saat itu, Anwar mengadakan konferensi pers untuk menanggapi pencopotan dirinya dari Ketua MK.
Ia tidak terima dicopot dengan melampirkan beberapa dugaan konflik kepentingan dalam perkara yang diputus oleh hakim-hakim sebelumnya.
Dalam konferensi pers, Anwar mencontohkan lebih dari satu kasus.
Kasus pertama, mengenai perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang masa jabatan hakim MK.
Anwar menegaskan, gugatan atas Pasal 87 a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK itu sangat berkaitan langsung dengan jabatan ketua/wakil ketua MK, yang waktu itu dijabat Anwar Usman dan Aswanto.
Sementara itu, gugatan atas Pasal 87 b berkaitan langsung dengan kepentingan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang ketika itu belum berusia 55 tahun.
"Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan ketua dan wakil ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung. Namun saya tetap melakukan dissenting opinion," kata Anwar dalam jumpa pers tanpa tanya jawab itu.
"Termasuk kepentingan langsung Prof Saldi Isra dalam Pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat," ucap dia.
Baca juga: MK Jawab Keberatan Anwar Usman soal Pengangkatan Ketua MK Suhartoyo
Beberapa perkara di antaranya bahkan diputus pada era kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, yakni Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, serta Putusan Nomor 5/PUU-IV/2006 yang membatalkan pengawasan KY Terhadap Hakim Konstitusi.
Di era kepemimpinan Hamdan Zoelva, terdapat pula Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK.
"Maka, berdasarkan yurisprudensi di atas dan norma hukum yang berlaku, pertanyaannya adalah: apakah sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK, saya harus mengingkari putusan-putusan terdahulu, karena disebabkan adanya tekanan publik, atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula?" kata Anwar.