PERSIS saat bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan pada 1998 (10 November 1998), aktivis Gerakan Reformasi berhasil mempertemukan empat tokoh penting saat itu.
Empat tokoh itu adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais.
Pertemuan berlangsung di kediaman Gus Dur, Ciganjur. Hasilnya adalah Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan poin penting pijakan pemerintahan Indonesia pasca-Soeharto turun tahta (pasca-Orde Baru).
Inti deklarasi adalah kesepakatan pemahaman bahwa Indonesia sedang menuju babak baru dalam membangun masyarakat demokratis.
Babak baru setelah tiga dasawarsa lebih terpenjara oleh politik otoritarianisme, politik kesewenang-wenangan, politik yang melukai hati nurani: ya politik yang menyuburkan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Saya membaca Deklarasi Ciganjur sebagai pembuka harapan tumbuhnya politik “hati nurani”. Yang tak lain adalah antitesis politik otoritarianisme yang dipraktikkan Soeharto selama tiga puluh tahun lebih.
Dua puluh lima tahun kemudian (12 November 2023), juga dalam suasana Hari Pahlawan, ternyata terdengar kembali begitu nyaring seruan untuk kembali pada politik hati nurani.
Seruan kali ini berasal dari dua subjek yang berbeda, tapi dalam waktu dan jam yang hampir sama, serta atas dasar keprihatinan sama.
Pertama, seruan dari Rembang. Sejumlah tokoh budayawan, rohaniawan, akademisi, dan tokoh lain, bersilaturahmi dengan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Di antaranya Goenawan Mohamad, Lukman Hakim Saifuddin, Erry Riyana Hardjapamekas, Sulistyowati Irianto, Omi Komaria Madjid, Romo Antonius Benny Susetyo, Nong Mahmada, dan Alif Iman Nurlambang.
Tak ada deklarasi seperti di Ciganjur. Namun, silaturahmi yang diberi label Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR) itu mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap praktik demokrasi di Indonesia saat ini.
Kekuasaan terpusat di eksekutif. Mahkamah Konstitusi penuh dengan intervensi dari eksekutif, hingga ancaman terhadap asas jujur dan adil dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 (Kompas.com, 12/11/2023). Intinya, seruan untuk kembali pada politik hati nurani.
Kedua, seruan dari Megawati. Ia berseru, baik sebagai anak bangsa yang ikut berjuang bagi tegakknya demokrasi di Indonesia, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) maupun Presiden Ke-5.
Sebagai anak bangsa yang ikut berjuang menegakkan demokrasi di Indonesia merujuk perlawanannya terhadap penguasa Orde Baru. Termasuk tokoh Deklarasi Ciganjur bersama tiga tokoh lain.
Sebagai Ketua Umum PDI-P merujuk kiprahnya memimpin partai politik (parpol) yang pernah kalah dan menang pada pemilu dan kini memimpin koalisi parpol pengusung Ganjar-Mahfud pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sebagai Presiden Ke-5 merujuk pengalamannya bertahta dengan segenap kekuasaan di tangan.