KUAT dan lemahnya demokrasi saat ini diukur dari gerakan dan peran kelas menengah dalam berpartisipasi. Dulu di Athena kuno, warga kota yang terdiri dari laki-laki dewasa dan asli dari kota itu, bukan orang asing, budak, dan perempuan berhak suara dalam demokrasi langsung.
Sekarang dalam demokrasi representatif, keputusan-keputusan penting diserahkan kepada wakil-wakil dalam eksekutif dan legislatif.
Pemungutan suara Pemilu menentukan siapa yang dipercaya dan memegang mandat. Warga negara tidak lagi terlibat langsung dalam keputusan-keputusan keseharian.
Namun jika warga pemilik suara merasa tidak puas dengan yang telah terpilih, bagaimana menyuarakannya? Dari pertanyaan inilah kelas menengah bisa menjadi penyambung untuk cek dan keseimbangan jalannya demokrasi.
Tidak semua warga bisa dan sadar berperan dalam hal itu. Kelas menengah diharapkan untuk mengambil peran, seperti warga polis (kota) Athena zaman dahulu.
Struktur masyarakat kita masih berbentuk piramida. Atas mengerucut kecil, menggambarkan kelas elite dalam kuasa ekonomi dan politik. Kelompok ini terbatas sekali.
Sementara dasar piramida sangat besar, yaitu kelas akar rumput. Jumlah besar ini suaranya dihitung dan penting dalam Pemilu, karena semua mempunyai hak pilih yang sama.
Dalam penghitungan suara tidak ada beda antara menengah dan bawah. Namun jumlah masif ini tidak bisa diharapkan berperan dalam cek dan evaluasi pelaksanaan demokrasi untuk memahami proses eksekutif dan legislatif yang rumit dan teknis.
Amerika Serikat sangat bangga dengan kelas menengahnya yang kuat dan mewarnai demokrasi kapitalis.
Hampir semua kampanye politik, baik eksekutif maupun legislatif, menekankan kepentingan kelas menengah. Gerakan kelas menengah mensponsori Barack Obama menjadi presiden.
Namun, Donald Trump membalik itu, dengan berkomunikasi lebih intensif pada kelas bawah. Politik populisme menang waktu itu. Elite langsung turun ke kelas bawah. Kelas menengah bisa dilewati begitu saja, di Amerika lagi.
Sekadar perbandingan, kelas elite dan menengah di China juga tumbuh bersamaan dengan meroketnya ekonomi dalam kancah global dari negeri itu.
Namun pemerintah otoriter di sana terus mengendalikan negara agar tetap satu partai, satu suara, dan satu kebijakan, tanpa oposisi. China bukan contoh bagi Indonesia.
Indonesia menganut sistem multi-parti. Sementara sistem presidensial kita menyerupai Amerika, dengan prosedur pemilihan langsung.
Di China hanya ada satu partai yang terus melakukan intervensi terhadap politik warga dan gerak ekonomi.