PADA usianya yang menapak 75 tahun, Udin masih terus menggantangkan nasibnya pada beberapa lembar bilah penyangga gorden alumunium yang dipikulnya.
Setiap pukul 7 pagi dari kontrakannya yang dihuni seorang diri di Jalan Warung Sila, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Udin berkeliling kampung menjajakan jasa pemasangan gorden (Kompas.com, 13/10/2023).
Nasib Udin seperti halnya jutaan nasib orang kecil di negeri ini, masih saja susah mencari makan di era yang katanya disebut “Indonesia Maju” ini. Sudah sepekan lebih, jasa Udin tidak dilirik sama sekali oleh warga yang ditemuinya.
Sudah empat bulan terakhir, Udin menunggak pembayaran uang kontrakan. Alih-alih bisa membayar uang kontrakan tepat waktu, untuk biaya makan sehari-hari saja Udin kelimpungan.
Kerap Udin menahan lapar karena memang tidak ada uang sama sekali yang dimilikinya. Kekuatan tenaganya hanya mengandalkan tegukan minuman yang kerap didapatnya di masjid-masjid yang ditemuinya di perjalanan.
Di tengah kesulitannya yang mendera saban hari, Udin hanya teringat dengan nasib istri dan 8 anak-anaknya di kampung, yang begitu mengandalkan kiriman uang dari Udin.
Kekuatan terbesarnya hanya menyerahkan nasibnya kepada Sang Pencipta. Selembar peci usang selalu menemani beratnya kehidupan di Ibu Kota.
Udin menjadi contoh profil kemiskinan dari 25,9 juta penduduk miskin di Tanah Air. Menurut Badan Pusat Statistik hingga Maret 2023, garis kemiskinan tercatat sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 408.522 (74,21 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 141.936 (25,79 persen).
Sampai Maret 2023, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga.
Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan.
Membicangkan Udin dan puluhan juta warga miskin yang masih belum terentaskan dengan berbagai bantuan aneka kartu – seperti yang pernah dikritisi Prabowo Subianto di Pilpres 2019 – menjadi pelajaran di semua rezim yang berkuasa bahwa program pembangunan belum menyentuh mereka.
Kepengapan hidup, entah tersisa dari dampak pandemi kemarin dan kesulitan ekonomi serta kerusakan lingkungan yang semakin parah menjadi penyumbang terbesar ketidakbahagian orang untuk hidup di saat ini.
Meminjam data dari Polri, Komnas Perempuan menyebut pada periode Januari hingga Juni 2023 terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka tersebut meningkat sebesar 36,4 persen dibandingkan periode yang sama pada 2021 (486 kasus).
Provinsi tertinggi angka bunuh diri adalah Jawa Tengah (253), Jawa Timur (128), Bali (61), dan Jawa Barat (39).
Kasus bunuh diri kecenderungannya dipicu oleh gangguan kesehatan mental dengan beragam persoalan seperti kekerasan berbasis gender, perundungan, kekerasan siber dengan berbagai modus, penyakit sulit disembuhkan, tekanan ekonomi dan lain sebagainya.