"Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tapi tak jingga, cinta tapi tak dianggap."
KALIMAT galau yang saya kerap dengar dari kisah remaja saat putus cinta ternyata tidak melulu terjadi pada percintaan para remaja, tetapi juga tengah melanda partai-partai politik terutama kepada calon-calon pemimpin negeri.
Saat Jakarta dan beberapa kota di negeri ini sedang “tidak baik-baik saja” karena polusi yang mengepung di sana-sini, jagat politik sejak Kamis petang (31 Agustus 2023) langsung menghangat usai surat dari Partai Demokrat yang berisi pernyataan Sekjen Teuku Riefky Harsya menyebar di berbagai lini masa.
Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya yang juga anggota Tim 8 bentukan Demokrat, Nasdem dan PKS yang membantu bakal capres Anies Baswedan dalam merumuskan strategi pemenangan termasuk menggodok isu-isu strategis Koalisi Perubahan mengeluarkan pernyataan yang “menghentak”.
Demokrat merasa dikhinati karena keputusan sepihak Surya Paloh, Nasdem dan Anies Baswedan yang menjadikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi Anies.
Demokrat menilai Nasdem memutuskan secara sepihak nama Cak Imin sebagai Cawapres Anies Baswedan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan mitra koalisinya, PKS dan Demokrat.
Alih-alih Surya Paloh atau Anies yang memberitahu langsung Demokrat dan PKS, hanya seorang Sudirman Said, anggota Tim 8 yang memberi tahu keputusan terkiwari itu.
Menurut saya, Demokrat terutama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) layak kecewa, marah dan kesal dengan keputusan penting itu saat para elite partai berlogo bintang mercy itu “H2C” alias harap-harap cemas dengan tenggat waktu yang kerap dijanjikan Anies untuk mengumumkan nama bakal cawapresnya.
Bukannya AHY yang didapuk menjadi Calon RI-2, Anies sepertinya melupakan “janji-janji manisnya” akan memilih AHY, justru malah memilih Cak Imin sebagai “gebetan” terbarunya.
Tidak urung usai “hot news” ini merebak di permukaan dan ramai diberitakan berbagai media mainstream, kader-kader Demokrat di penjuru negeri mulai “take down” alias mencopot baliho gambar Anies yang berdampingan dengan AHY di mana-mana.
Dalam waktu beberapa jam lagi, Majelis Tinggi Partai Demokrat akan menggelar rapat untuk mengambil keputusan arah politik “terbaru” bagi AHY dan Demokrat.
Sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat Tahun 2020, kewenangan penentuan koalisi dan capres/cawapres ditentukan oleh Majelis Tinggi Partai.
Menilik perolehan kursi parlemen hasil Pemilu 2019, terbentuknya “poros baru” PKB dengan Nasdem dengan mengandaikan Demokrat dan PKS “cabut” dari Koalisi Perubahan, maka kumulatif suara Nasdem dan PKB memenuhi ambang batas minimal.
Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
Berdasarkan Undang-Undang Pemilu tersebut, partai politik yang memenuhi syarat untuk mengajukan capres/cawapres pada Pilpres 2024 harus memperoleh minumum 20 persen dari jumlah kursi DPR pada Pemilu 2019.