JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) buka suara soal tidak sinkronnya angka yang tertera dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dengan indeks di aplikasi lain yang sejenis.
Adapun ISPU merupakan aplikasi pengukur kualitas udara yang diluncurkan KLHK. Namun, angka kualitas udara di aplikasi tersebut kerap tidak sama dengan aplikasi sejenis lain milik pihak swasta, termasuk aplikasi Nafas Indonesia.
Baca juga: Modifikasi Cuaca dengan Penyemprotan Air untuk Atasi Polusi Udara
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Luckmi Purwandari mengatakan, perbedaan dalam masing-masing indeks terjadi karena tidak adanya standar baku secara internasional terkait kualitas udara.
Oleh karena itu, setiap pengembang Indeks memiliki standarnya sendiri-sendiri. ISPU dalam hal ini, mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2022.
"Yang mengatakan udara itu baik, tidak sehat, atau sangat tidak sehat itu adalah Indeks. Dan di semua negara, tidak ada standarnya. Di dunia tidak ada standar yang sama, tidak ada pengaturan harus sama standarnya seperti apa," kata dia dalam diskusi secara daring, Kamis (31/8/2023).
Dia menuturkan, kaftan tidak ada standar, tidak ada satu pun negara yang menyalahkan masing-masing pemilik indeks.
Dia pun menyatakan, klarifikasinya ini bukan berarti mengelak atas perbedaan yang terjadi.
"Jadi di situ bukan kami mengelak. Tapi mengatakan, sampai dengan saat ini tidak ada konsensus menggunakan perumusan indeks yang sama di dunia ini, termasuk mutu udara ambiennya, tidak ada yang mewajibkan harus sama di seluruh dunia," ucap dia.
"Itu saja penegasannya. Bukan masalah mengelak, sekali lagi," imbuh Luckmi.
Di sisi lain, peneliti FKM UI Iwan Ariawan menyebut, pemerintah dan pihak swasta pengembang indeks perlu duduk bersama untuk menentukan indeks mana yang harus menjadi acuan.
Baca juga: Kemenkes Minta Masyarakat Tak Anggap Enteng Polusi Udara di Jakarta
Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak bingung terhadap perbedaan kualitas udara di masing-masing indeks.
"Saya dengar ada ketidaksesuaian antar kementerian dan swasta tentang polusi udara. Sebetulnya mesti duduk bersama dan mesti dipilih kita akan pakai yang mana, kemudian harus dibuat sederhana," ucap Iwan di kesempatan yang sama.
Iwan menyampaikan, pemerintah bisa belajar dari masa pandemi Covid-19.
Saat Covid-19 merajalela misalnya, pemerintah mengkategorikan seluruh wilayah dengan 4 level, tergantung dari jumlah kasus Covid-19 di wilayah tersebut. Dengan begitu, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan saat berada di wilayah rawan.
Meski kata dia, penentuan level saat polisi udara tidak perlu menggunakan instruksi menteri dalam negeri (Inmendagri) seperti saat pandemi yang kerap diperbarui tiap 2 minggu sekali.
"Kita mungkin enggak perlu keputusan Mendagri, tapi ada keputusan sekarang statusnya apa, masyarakat mesti apa. Misalnya, hari ini polusi tinggi, maka pakai masker. Jelas itu, jadi langsung aja ditegaskan, ini mesti pakai masker," jelasnya.
Baca juga: Tren Polusi Udara Jabodetabek 2 Tahun Terakhir Lampaui Batas Aman WHO
Sebelumnya diberitakan, polusi udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara sebagai salah satu langkah penanganan polusi udara yang makin memburuk ini.
Adapun pembentukan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/1625/2023 yang diteken Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada 14 Agustus 2023.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.