SEBENARNYA tidak ada definisi baku mengenai penjelasan dari kelas menengah. Namun salah satu yang sering dijadikan rujukan adalah klasifikasi konsumsi (pengeluaran) yang dikeluarkan Bank Dunia.
Bank Dunia dalam laporannya bertajuk “Aspiring Indonesia; Expanding the Middle Class” yang terbit September 2019 menyebutkan, hampir separuh masyarakat Indonesia menuju kelas menengah. Jumlahnya mencapai 114,7 juta orang atau telah mencapai 44 persen total penduduk Indonesia.
Keberadaan kelas menengah ini setidaknya perlu diperhatikan dari sisi ekspresinya terhadap ideologi kebangsaan kita, meskipun mengandung keyakinan bahwa mereka tumbuh dengan lingkungan yang cukup memadai.
Betapa tidak, pada genggaman mereka sudah ada gawai yang memudahkan akses untuk berselancar kemanapun dan di manapun. Kemudahan ini ternyata juga memengaruhi kebiasaan kelas menengah untuk mengekspresikan dirinya.
Kebebasan berekspresi atau freedom of expression merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia.
David E. Guinn melalui Philosophy and Theory of Freedom of Expression (2005), menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi dapat dimaknai sebagai suatu tindakan yang memuat unsur-unsur atau karakteristik dari sikap ekspresif yang meliputi komunikasi, informasi, dan pengaruh.
Dengan semakin derasnya arus perubahan, memaksa kita melakukan akselerasi dengan isu-isu aktual, utamanya yang mampu mendorong penguatan ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Posisi kelas menengah tentu mampu melihat ini sebagai kepastian. Hanya saja, terkadang mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa memahami Pancasila selalu serba formal dan cenderung kaku. Ini harus dihindari.
Ekspresi sederhana jika melihat kenyataan yang tumbuh di lingkungan kelas menengah bisa dilihat melalui beberapa survei.
Misalnya, survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di 18 provinsi pada Agustus-September 2021.
Mayoritas generasi muda Indonesia memiliki sikap positif yang kuat terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman, bahkan tentang kepemimpinan perempuan. Masa depan Indonesia yang bhineka pun dinilai menjanjikan.
Namun, di tengah kabar gembira tersebut terselip tantangan untuk membantu generasi muda agar dapat menerima kebebasan beragama.
Survei lain dari Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.
Meski tidak cukup mewakili, setidaknya gambaran itu mampu menggerakan kepentingan atas nama kebijakan untuk penguatan pembudayaan Pancasila, khususnya kelas menengah.
Kepentingan akselerasi ideologi dimaksudkan sebagai upaya konkret untuk mendukung pembudayaan Pancasila. Pembudayaan bisa dimaknai sebagai penghayatan yang mampu mewujud sebagai perilaku atau aktualisasi.