JAKARTA, KOMPAS.com - Boven Digul saat ini menjadi sebuah kabupaten di Provinsi Papua Selatan. Namun, di masa lalu nama itu menjadi momok bagi para perintis kemerdekaan Indonesia dari Belanda.
Kabupaten Boven Digoel adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Boven Digoel menjadi tempat pengasingan tokoh-tokoh politik seperti Mohammad Hatta, Mohammad Bondan, Sutan Syahrir, Sayuti Melik, Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, dan Ilyas Ya'kub.
Menurut catatan ada sebanyak 1.200 orang tahanan politik Hindia Belanda yang dibuang di dua kamp di Boven Digoel, yaktu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.
Dalam buku Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, keputusan membuat sebuah tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh gerakan revolusioner dan komunis mulanya sebagai reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap pemberontakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten pada 6 November 1926.
Baca juga: Mengenal Boven Digoel Papua, Tempat Bung Hatta Diasingkan di Era Kolonial Belanda
Keputusan mendirikan sebuah tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh politik dan pemberontak itu disepakati oleh Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff dan Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlancsh-Indie) pada 18 November 1926.
Setelah pemberontakan itu, aparat keamanan Hindia Belanda memburu para tokoh-tokoh politik.
Mereka yang tertangkap kemudian dibawa dengan kapal menuju Boven Digoel.
Digoel yang tadinya merupakan hutan lebat disulap menjadi kamp-kamp buat menampung para tahanan politik.
Penjagaan di kamp itu dibuat berlapis, tetapi tidak dibatasi dengan kawat berduri.
Baca juga: Mengintip Sel Tikus Bung Hatta di Boven Digoel...
Yang paling mematikan dari Boven Digoel justru bukan dari kekejaman aparat melainkan dari alamnya.
Selain malaria, saat itu di sekitar kamp Boven Digoel masih banyak dihuni oleh suku-suku setempat yang bisa dibilang belum terlampau ramah dengan orang asing.
Alam Digoel yang panas, lembab, dan gersang juga membuat para tahanan politik berpikir ulang buat. Selain itu, sungai-sungai yang mengalir di sekitar kam juga dipenuhi buaya.
Bahkan seorang tahanan politik bernama Mangoenatmodjo tewas diterkam buaya saat sedang mandi di sungai.
Baca juga: Boven Digoel, Pengasingan yang Sangat Ditakuti
Najoan yang dijuluki "Jungle Pimpernel" dilaporkan 4 kali berupaya kabur dari kamp itu. Percobaan terakhir dilakukan pada 1942, kurang dari setahun sebelum kamp itu ditutup. Akan tetapi, Najoan hilang di hutan.