JAKARTA, KOMPAS.com - Memperingati tragedi kerusuhan Mei 1998 atau peristiwa reformasi 1998, Amnesty Internasional mengingatkan ada peristiwa kelam lainnya yaitu kekerasan seksual yang dialami oleh etnis Tionghoa.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, dalam peristiwa kekerasan seksual yang terjadi, negara belum memberikan upaya konkret dalam penuntasan kasus tersebut.
"Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual adalah memori sejarah yang melekat tentang Tragedi Mei 1998. Sayangnya hingga hari ini, belum ada upaya konkret dari negara untuk menuntaskannya," kata Usman dalam keterangan tertulis, Senin (15/5/2023).
Padahal, kata Usman, hasil temuan tim gabungan pencari fakta kala itu menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan seksual terjadi secara sistematis dan terencana.
Baca juga: Mei 1998, Saat Jakarta Dilanda Kerusuhan Mencekam dan Ditinggal Para Penghuninya...
Laporan tersebut juga diakui negara sebagai pelanggaran HAM yang berat.
"Namun itu tidak cukup. Harus ada upaya nyata untuk mengusut tuntas tragedi ini," kata dia.
Usman mengatakan, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada peristiwa kerusuhan 1998 menimbulkan dampak serius terhadap korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa.
Ditambah dengan kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998.
"Tidak hanya melanggar hak-hak mereka untuk kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat mereka secara emosional dan psikologis," imbuh dia.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat setidaknya ada 52 orang yang menjadi korban perkosaan dalam peristiwa kerusuhan 1998.
Kemudian perkosaan dengan penganiayaan 14 orang, korban penyerangan dan penganiayaan seksual 10 orang dan korban pelecehan seksual 9 orang.
Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa bersifat lintas kelas sosial.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kebenaran, keadilan dan reparasi telah menyatakan kewajiban negara untuk menginvestigasi dan menghukum para pelaku.
Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB juga menyatakan kewajiban tersebut adalah turunan dari hak atas ganti rugi yang efektif dalam pasal Kovenan Hak Hak Sipil dan Politik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.