Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Jangan Lupakan Balita Stunting

Kompas.com - 18/04/2023, 06:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEMINGGU sebelum hari Lebaran, dapur di rumah saya sudah mulai tampak rapi. Barang-barang yang tidak begitu perlu sudah dipindah ke belakang rumah. Ruang dapur tampak lebih lega. Urusan masak memasak untuk menyambut hari Lebaran rupanya akan segera dimulai.

Saya menduga tidak lama lagi aktivitas di dapur akan bertambah intens, walau pelaku utamanya hanya dua orang saja, yaitu istri dan anak gadis saya, tanpa asisten.

Pasalnya, rumah saya akan kedatangan adik-adik kandung beserta keluarganya pada Lebaran kali ini, setelah kakak kami yang tinggal sekota wafat setahun yang lalu.

Walau jumlah famili yang akan datang tidak begitu banyak, namun hidangan khas Lebaran perlu disajikan.

Kumpul, sungkeman ke orang tua (dahulu) dan bermaaf-maafan, serta makan bersama adalah tradisi keluarga yang setahun sekali dilakukan.

Hidangan Lebaran biasanya selalu sama, yaitu ketupat, opor ayam, telur petis, dan lain-lainnya.

Saya yakin keluarga-keluarga lain juga melakukan hal yang sama. Setiap hari Lebaran, sanak saudara berkumpul, dan banyak makanan terhidang, yang membuat perut kenyang dan hati senang, dan rindu pun terobati.

Secara hitungan di atas kertas, setiap keluarga, termasuk warga pra-sejahtera, bisa menikmati hidangan istimewa pada hari Lebaran.

Jumlah zakat dan sedekah yang terkumpul pada hari Idul Fitri seharusnya dapat terdistribusi ke seluruh kaum dhuafa (miskin). Belum lagi bantuan sosial yang diberikan pemerintah sebagai program rutin kepada keluarga yang kurang sejahtera.

Namun banyak keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi setiap hari, seperti pada saat hari Lebaran. Akibatnya banyak terjadi kasus kurang gizi, busung lapar, dan defisit protein.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi/keberadaan anak balita yang mengalami stunting (tubuh cebol) di negeri ini masih tinggi, yaitu 21,6 persen pada tahun 2022, atau sekitar 5 jutaan anak. Pemerintah menargetkan angka stunting ini akan turun menjadi 14 persen pada 2024.

Target yang cukup ambisius ini masih kurang ideal, karena akan masih tinggi dibandingkan negara-negara lain seperti China (4,8 persen-2017), Singapura (4,4 persen-2000) atau Turkiye (6 persen-2018).

Jelaslah, diperlukan upaya besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengurangi jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi akut.

Kalau saja semua penerimaan zakat pada setiap Hari Raya Idul Fitri dapat digunakan untuk membantu keluarga yang tidak mampu, maka jumlah balita stunting tentulah akan cepat berkurang.

Mengurangi kemiskinan, sebagai penyebab kejadian stunting, memang menjadi salah satu misi utama sistem zakat, baik yang dilakukan secara terpusat oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun secara mandiri oleh setiap masjid.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com