SAYA putra asli desa, tumbuh dan besar di desa. Segala nilai, pola interaksi, cara menjaga kohesi sosial, mekanisme penyelesaian masalah dan sebagainya, bukan sekadar terekam dalam memori, tetapi merasuk dalam sanubari saya. Semua itu tersimpan dalam hati dan jiwa saya sebagai panduan hidup.
Sejak kecil di desa, kepala desa (Kades) sudah menjadi figur utama dalam menjaga keharmonisan hidup kami di desa.
Masyarakat desa memandang dan memperlakukan Kades sebagai pengurai benang kusut, orang yang meringankan beban warga desa, pemandu jalan ke arah mana warga hendak mengayun langkah, pemutus perkara.
Singkatnya, Kades adalah pemimpin yang dipatuhi karena memang penuh kharisma.
Kades adalah tempat para warga mengadukan nasib dan masalah kesehariannya; mulai cekcok lantaran ada satu pihak yang membendung saluran irigasi, istri yang mengadukan suami lantaran mulai bermain mata dengan putri tetangga yang mulai mekar, jemuran tetangga yang tidak disusun rapi, ternak hilang, anak gadisnya dibawa lari oleh putra pujaan sang gadis, memohon petunjuk kapan sebaiknya menikahkan anak, dan seterusnya. Kades menyelesaikan semua itu secara adil, tanpa riak.
Karena itu, para Kades dihormati. Tidak digunjingkan. Tidak disertai dengan bisik berbisik di belakang punggung mereka.
Para Kades menjalankan tugas mereka dengan hati ikhlas, jiwa penyayang pada warga, berdedikasi tinggi untuk kemaslahatan para warga yang dipimpin. Ya, begitulah Kades di masa silam.
Kini, dalam usia saya berkepala enam, saya mendengar, menyaksikan dan mengalami sejumlah Kades di berbagai tempat, justru pembawa petaka. Kades malah yang menghimpit warganya dengan beban yang tak terperikan.
Kades kita di masa kini, surplus dengan akhlak culas, sesak dengan perilaku bathil, sarat dengan cara-cara Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang menguntungkan diri sendiri belaka.
Sikap heroik dan panutan akhlak mulia dari Kades, seolah kini sudah punah seiring dengan berjalannya waktu.
Bila Anda, misalnya, ingin melakukan investasi sekarang di daerah untuk perbaikan ekonomi bangsa, maka sebagian uang dan waktu Anda, akan habis hanya berhadapan dengan ulah Kades.
Bila Anda membeli tanah dengan harga Rp 20.000 per meter, maka Anda siap membayar Rp 25.000 karena Rp 5.000 adalah bagian dari Kades.
Ini rumus baku yang dipraktikkan sekarang. Anda siap menghabiskan waktu dua tahun hanya menanti dan menanti keputusan Kades.
Sudah jamak kita dengarkan, acapkali pembeli tanah di desa, harus membayar dua kali pajak bumi dan bangunan (PBB) karena tatkala membeli tanah dari masyarakat, pembayaran PBB bisa dilakukan melalui Kades.
Beberapa waktu setelah itu, pembeli kembali ditagih oleh pihak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) karena ternyata Kades tidak pernah menyetorkan uang PBB yang dibayar tadi.