JAKARTA, KOMPAS.com - Gejala tentang tanda-tanda terjadinya kemunduran demokrasi atau regresi di Indonesia turut menjadi perhatian lembaga kajian demokrasi dan aktivisme masyarakat sipil Public Virtue Research Institute (PVRI).
Dalam catatan akhir tahun PVRI turut membahas munculnya tanda-tanda kemunduran demokrasi di Indonesia.
PVRI menyatakan kajian tentang regresi demokrasi berdasarkan pada laporan Koalisi Masyarakat Sipil saat menghadiri sidang Pelaporan Universal Periodic Review (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memantau laporan Pemerintah Republik Indonesia di Jenewa, Swiss pada November 2022 lalu.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Eks Koruptor Bisa Jadi Caleg, Ancam Demokrasi
"Terdapat beberapa indikator kemunduran demokrasi di Indonesia. Dalam catatan ini, kami menilai bahwa demokrasi Indonesia berada dalam bahaya," kata Direktur Eksekutif PVRI Miya Irawati dalam keterangan pers pada Sabtu (24/12/2022).
Menurut Miya indikator tentang gejala kemunduran atau regresui demokrasi di Indonesia dilihat dari 3 aspek utama.
Ketiga aspek yang menjadi sorotan itu adalah penyusutan ruang publik masyarakat sipil dengan mempersempit ruang kritik, rongrongan terhadap oposisi yang menyebabkan hilangnya mutu oposisi politik, dan perongrongan terhadap proses pemilihan umum (Pemilu) yang berintegritas sebagai cara untuk mempertahankan puncak kekuasaan pemerintah.
Miya juga menyebut terdapat lima kategori persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga menyebabkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Bawaslu Bicara Peran Perempuan pada Pemilu 2024: Majunya Demokrasi Terletak di Bahu Perempuan
Persoalan pertama, kata Miya, adalah soal penyusutan ruang publik masyarakat sipil untuk melakukan kritik. Dia menilai ada kecenderungan masyarakat dibungkam melalui serangan fisik, psikologis, digital, dan judicial harassment agar tak menyampaikan kritik.
Menurut Miya, angka korban pejuang keadilan dan prodemokrasi yang mengalami represi sepanjang 2022 cukup tinggi. Namun, dia tidak memaparkan secara rinci berapa jumlah orang-orang yang mengalami represi itu.
Miya juga menyinggung soal pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru tentang ancaman pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai berbau antikritik.
Baca juga: Jokowi: Pemilu 2024 Akan Jadi Pesta Demokrasi Terbesar dalam Sejarah, Hati-hati, Mungkin Berat...
"Pemerintah secara sistemik memunculkan pasal KUHP yang berwarna antikritik. Salah satunya, Pasal 218 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden dengan ancaman pidana selama 3 tahun. Unjuk rasa pun, yang awalnya merupakan tindakan yang bebas untuk dilakukan, saat ini dibayang-bayangi dengan delik pidana," kata Miya.
Persoalan kedua yang menurut Miya menjadi problem demokrasi di Indonesia adalah soal perongrongan terhadap oposisi yang menyebabkan hilangnya mutu oposisi politik.
Lantas permasalahan ketiga, kata Miya, adalah terjadinya perongrongan terhadap proses Pemilu yang berintegritas sebagai cara untuk mempertahankan puncak kekuasaan pemerintah.
Hal itu, kata Miya, terlihat dari wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih terus disuarakan dengan berbagai dalih oleh kelompok pendukungnya.
Baca juga: KSP Bantah UU KUHP Baru Bertentangan dengan Demokrasi
"Wacana perpanjangan masa jabatan presiden berkali-kali diamplifikasi dengan berbagai alasan dari kondisi ekonomi akibat pandemi, narasi bahwa Jokowi tidak tergantikan, bahkan survei kepuasan masyarakat dianggap berbanding lurus dengan keinginan untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi," papar Miya.