JAKARTA, KOMPAS.com - Terbukanya peluang eks koruptor untuk kembali menjadi anggota legislatif, meski dijeda pencalonannya sejak dinyatakan bebas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, dinilai sebagai ancaman demokrasi.
Hal itu terlihat berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas awal Desember 2022.
Berdasarkan data The Economist pada 2021, indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-52 dengan skor 6,71 poin dari skala 0-10. Angka tersebut menempatkan Indonesia di bawah Malaysia yang berada di peringkat 39 dan Timor Leste yang berada di peringkat 43.
"Jajak pendapat merekam 84,4 persen responden menilai masih terbukanya peluang bekas terpidana, termasuk mantan napi korupsi untuk menjadi kontestan pemilu, merupakan ancaman besar bagi demokrasi," kata peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti, dikutip dari Harian Kompas, Senin (19/12/2022).
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Menilai Hukuman Koruptor Belum Maksimal
Sebanyak 84,4 persen responden itu terdiri dari 41,9 persen responden yang menganggap eks koruptor yang kembali menjadi calon anggota legislatif (caleg) sangat berbahaya, dan 42,5 persen yang menganggap berbahaya.
Menurut responden yang disurvei Litbang Kompas, 76,5 persen menganggap membolehkan eks koruptor kembali menjadi caleg merupakan keringanan bagi pelaku korupsi.
Rangga menyebutkan, bagaimanapun, bagi publik, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diganjar hukuman luar biasa.
Jajak pendapat Kompas juga merekam persepsi publik menjadi negatif konsisten dan negatif setiap merespons isu-isu korupsi.
Baca juga: Litbang Kompas: Publik Tak Setuju Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg
"Lebih dari 80 persen responden menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi masih belum setimpal. Bagi sepertiga responden lainnya, kejahatan korupsi layak diganjar hukuman maksimal, seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup," ucap Rangga.
Survei juga menunjukkan mayoritas responden atau 90,9 persen tidak setuju mantan terpidana korupsi menjadi caleg di Pemilu.
Hal ini berbenturan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan masa tunggu 5 tahun bagi mantan koruptor yang mau menjadi caleg. Publik justru tak ingin para koruptor kembali masuk dan mendapat kursi pemerintahan.
Perinciannya, sebanyak 63,4 persen responden sangat tidak setuju, dan 27,5 persen responden tidak setuju. Adapun yang setuju hanya 7,6 persen dan yang sangat setuju hanya 1,0 persen.
Baca juga: Survei Litbang Kompas, 42,7 Persen Responden Anggap Kedisiplinan Prajurit TNI Penting Dibenahi
Tercatat sebanyak 37,1 persen responden beralasan mantan napi korupsi berpotensi korupsi lagi jika mendapat kursi pemerintahan.
Sementara itu, 32 persen lainnya menganggap bahwa seharusnya mantan napi korupsi tidak diizinkan lagi malang-melintang di tanah politik.
Lalu, 17,8 persen menyebut mantan napi korupsi menjadi contoh buruk bagi politisi lainnya. 11,1 persen menganggap tidak etis, 0,2 persen menyebut masih banyak calon yang lain, dan 1,2 persen menyebut tidak tahu.
"Sepertiga bagian dari kelompok responden yang menolak juga beralasan, semestinya mereka yang sudah pernah terlibat kasus korupsi tidak layak lagi dipercaya mengemban amanah rakyat yang direbut melalui Pemilu," ucap Rangga.
Baca juga: Survei Litbang Kompas, 73,9 Persen Responden Yakin Yudo Margono Mampu Berantas Separatisme
Sebagai informasi, metode penelitian dilakukan melalui telepon yang dilakukan pada 6-8 Desember 2022. Sebanyak 502 responden dari 34 provinsi berhasil diwawancarai.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi. Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan kurang lebih 4,37 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.