JAKARTA, KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyarankan agar pemerintah tetap menanggung kelompok miskin untuk mengakses vaksin penguat (booster) lanjutan.
Kategori kelompok miskin atau tidak mampu ini adalah Peserta Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Artinya, mereka tetap mendapat akses vaksin booster gratis bila pemerintah menetapkan booster lanjutan.
"Ketika (akses vaksin booster) ini menyangkut kelompok berisiko tinggi, harus dipilah-pilih, misalnya kalau dia PBI, ya harusnya ditanggung BPJS," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/9/2022).
Baca juga: CDC Rekomendasikan Vaksin Booster untuk Lawan Omicron
Dicky menuturkan, pemerintah wajib memberikan hak atas kesehatan kepada warga miskin. Dengan demikian, akses vaksin booster yang gratis pun menjadi kewajiban pemerintah untuk kelompok ini.
Menurut dia, memberikan vaksin booster lanjutan gratis justru akan mengurangi beban anggaran kesehatan di masa depan, utamanya pembiayaan tagihan rumah sakit.
Sebab, bila masyarakat terproteksi dengan baik, penyakit penyerta yang timbul akibat infeksi Covid-19 lebih minor.
"Ketika orang terinfeksi Covid-19 berkali-kali itu akan jadi penyakit kronis degeneratif seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan sebagainya yang pada gilirannya akan membebani BPJS. Yang maksudnya tadinya supaya BPJS enggak terbeban, malah jadi jauh lebih besar," ucap Dicky.
Dia menyampaikan, pemerintah perlu menggodok lebih lanjut mekanisme vaksin booster berbayar, termasuk tarif vaksin sesuai kelas BPJS dan vaksin gratis untuk PBI JKN-KIS.
"Mekanismenya bisa PBI atau pertanggungan karena dia anggota atau peserta BPJS saja. Kecuali kalau dia enggak jadi peserta BPJS, (melainkan peserta asuransi) swasta misalnya, dia bayar memang," ucap dia.
"Tapi kalau dia miskin dan masuk kategori berisiko ya tanggung jawab pemerintah kembali," ujar Dicky.
Baca juga: UPDATE 1 September: Capaian Vaksinasi Covid-19 Dosis Kedua 72,88 Persen, Booster 25,90 Persen
Terlepas dari itu, dia mengapresiasi rencana pemerintah menjadikan vaksin booster Covid-19 sebagai vaksin rutin di masa depan.
Sebab, karakter virus SARS Cov-2 bermutasi cepat dan vaksin Covid-19 yang ada saat ini belum memiliki kemampuan untuk memproteksi dalam jangka waktu lama. Sejauh ini, vaksin booster hanya memproteksi selama 6 bulan.
Vaksin Covid-19 pun belum mencakup pencegahan untuk subvarian baru Covid-19 yang terus bermutasi. Tak heran jika pakar menyarankan agar pemerintah menggunakan vaksin bivalen yang dinilai relevan untuk mencegah penularan varian baru Omicron.
"Saat ini atau ke depan perlu ada booster secara rutin untuk vaksin Covid-19 ini memang besar, tapi kebutuhannya setelah booster keempat ini, menjadi lebih selektif pada kelompok yang rawan baik dari sisi pekerjaan atau dari sisi kondisi tubuh," kata Dicky.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono menyampaikan bahwa pemerintah tengah menggodok mekanisme vaksin booster untuk menjadi vaksin lanjutan.
Baca juga: Vaksin Merah Putih Unair Siap Jadi Booster
Pertimbangan ini didasari karena pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai, di tengah pendeknya masa efektif vaksin yang ada saat ini. Dante menyebut, vaksin booster lanjutan ini kemungkinan diperlukan 4-5 kali.
"Kita tidak pernah tahu kapan kita akan terus melakukan booster, karena mungkin ada booster keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Sehingga kelihatannya booster itu menjadi vaksinasi rutin nanti," ucap Dante beberapa waktu lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.