Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Langkah Jokowi Teken Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Non-Yudisial Dinilai Keliru

Kompas.com - 26/08/2022, 05:15 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai keliru dan akan mempersulit korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan keadilan.

"Langkah Presiden menandatangani Keppres tersebut adalah langkah yang keliru dan sejatinya akan menutup akses keadilan bagi korban, pengungkapan kebenaran, dan sekaligus memperpanjang rantai impunitas kasus pelanggaran HAM di Indonesia," kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial, Al Araf, dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (25/8/2022).

Dia menyarankan supaya Presiden membatalkan Keppres tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Menurut Al Araf, dia mengapresiasi pidato Presiden yang menyatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu masih menjadi perhatian serius pemerintah.

Baca juga: Jokowi Dinilai Harus Penuhi Janji Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Hal itu disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan DPR RI dan DPD RI pada 16 Agustus 2022 lalu.

Akan tetapi, kata Al Araf, dia tidak sepakat dengan keputusan Presiden membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Menurut Al Araf, seharusnya Presiden memastikan seluruh pelanggaran HAM berat baik masa lalu maupun yang terjadi belakangan ini harus diselesaikan dengan mekanisme pro-yustisia (pengadilan HAM).

"Sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 dan bukan memalui penyelesain non-yudisial sebagaimana maksud Keppres tersebut," ujar Al Araf.

Al Araf mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui jalur pengadilan penting dilakukan supaya memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban yang selama ini masih menuntut pengungkapan kebenaran.

Baca juga: Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Dinilai Kuatkan Impunitas

"Selain itu, penyelesaian pro-yustisia juga penting untuk memastikan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM dihukum sesuai hukum yang berlaku dan bukan malah melenggang bebas, bahkan menjabat dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan," ucap Al Araf.

Secara terpisah, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, Keputusan presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu yang diteken Presiden menjadi komitmen memberikan prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.

Menurut dia, jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered).

"Mekanisme non-yudisial berorientasi kepada pemulihan korban. Di samping itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh," ujar Jaleswari dilansir dari siaran pers KSP, Senin (22/8/2022).

Jaleswari juga menyanggah argumen yang menyatakan bahwa Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas.

Dia menekankan, kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh presiden sebagai sebuah executive measure.

Baca juga: Mahfud Ungkap Alasan Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu Melalui Non-yudisial

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com