PEMAKSAAN pelaksanaan agama pada saatnya akan mendapat penolakan dari penganutnya sendiri.
Bahkan ketika pelaksanaan ajaran agama itu sudah melibatkan perangkat pemerintah, entah itu guru, polisi pamong praja, atau siapapun yang bertindak sebagai polisi agama bagi keyakinan orang lain.
Alih-alih ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, praktik beragama secara paksa justru melahirkan sikap ketidak jujuran dalam beragama.
Orang yang diawasi ‘agamanya’ akan mencitrakan diri sebagai orang saleh di ruang publik dan menjadi pengkhianat agama di ruang pribadinya.
Cara beragama pada akhirnya bukan cerminan dari spritualitas melainkan citra yang bersifat politis.
Kian hari agama tidak lagi akan menjadi ajaran atau seperangkat nilai yang membentuk kesadaran, tetapi menjadi dalih atas segala kejahatan sekaligus dalih keamanan.
Orang beragama dan beribadah bukan karena ingin dekat dengan Sang Pencipta melainkan karena ingin selamat dari hukuman tertentu.
Dampak lain dari pemaksaan agama adalah munculnya tafsir tunggal atas agama. Dan biasanya kelompok pertama yang menjadi korban dalam tafsir tunggal itu adalah kaum perempuan.
Hal itu dimulai dari pemaksaan kepada perempuan untuk menutup auratnya dan berhenti pada kewajiban rakyat yang harus patuh pada penguasa.
Kasus pemaksaan menjalankan agama pernah dikritik oleh masyarakat Arab Saudi selama bertahun-tahun.
Sebab pemaksaan menjalankan agama pada masyarakat hanya menimbulkan sikap kemunafikan dalam masyarakat.
Novel berjudul Ikhtilas, -korupsi atau penipuan, (2007) yang ditulis oleh Hani Naqshabandi menceritakan keadaan itu dengan gamblang.
Lebih dari itu, pemaksaan pelaksanaan ajaran agama sepanjang sejarahnya tidak sungguh-sungguh sebagai upaya menjalankan perintah agama, melainkan bagian dari sikap politis.
Kita tidak pernah mendengar ada peraturan berbasis agama untuk penguasa. Sehingga tak pernah ada hukum potong tangan untuk pemimpin yang dinyatakan korupsi, misalnya. Atau hukum rajam untuk penguasa yang berzina dan seterusnya.
Dalam kasus Indonesia, bukankah dalih-dalih agama juga telah sering terdengar sebagai pembenaran suatu kejahatan?
Mulai dari kekerasan, penipuan, korupsi, suap, pengobatan dan kejahatan lainnya. Akankah dalih agama juga akan disematkan sebagai pembenaran guru melakukan kekerasan pada anak-anak sekolah?
Sampai kapankah akan dipertahankan satu individu menjadi hakim dan jaksa bagi individu lain dalam masalah agama dan kesalehannya?
Kiranya di saat informasi kian terbuka, cara beragama masyarakat perlu dibentuk bukan atas dasar paksaan dan ketakutan, melainkan atas dasar kesadaran akan spiritualitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.