BANYAK perdebatan seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), seperti soal draf naskah akademik yang masih lama yakni tahun 2015 dan sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. Dalam tulisan ini, penulis hanya menyoroti pasal tentang penghinaan terhadap presiden.
Ketentuan mengenai “penghinaan presiden” sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Pertimbangan hukum (ratio decindendi) yang dimuat dalam putusan MK tersebut yakni, pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.
Baca juga: Seputar Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP yang Dipastikan Tak Akan Dihapus
Namun dalam perkembangan pembahasan RKUHP, pasal mengenai “penghinaan presiden” diatur kembali dengan beberapa polesan yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu pasal penghinaan presiden masuk kategori delik biasa, artinya dapat diproses langsung tanpa ada persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan, kini digantikan dengan delik aduan yang berarti harus ada pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan.
Dalam naskah akademik RKUHP dijelaskan bahwa diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” karena dinilai sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Jika kepala negara diserang atau dihina, masyarakat tidak akan dapat menerima hal tersebut. Kepala negara dan wakilnya dapat dipandang sebagai personifikasi negara dan di Indonesia, masyarakatnya masih mempunyai rasa hormat yang kuat terhadap presiden dan wakil presidennya.
Berdasarkan naskah akademik tersebut, beberapa alasan dipertahankannya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” adalah:
Dalam RUU KUHP, ketentuan mengenai “penghinaan presiden” diatur pada Pasal 217 sampai pasal 220. Berikut penjelasan pasal-pasal tersebut:
Pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa presiden sebagai instansi seakan memiliki rasa/emosi. Tentu saja sebuah instansi tidak memiliki perasaan. Jabatan presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan akan tetap seperti itu keadaannya. Pribadi orang yang akan menjadi presiden yang memiliki perasaan.
Ketentuan itu tentu menjadi senjata yang dapat digunakan untuk menjerat siapapun yang melakukan kritik terhadap presiden. Sudah seharusnya jika pribadi presiden yang mendapatkan penghinaan, pasal yang digunakan yakni Pasal 310, 311, 315, 318 KUHP. Pasal tersebut dapat digunakan siapapaun yang pribadinya mendapatkan penghinaan.
Pasal penghinaan presiden ini merupan produk zaman penjajahan belanda. Pasal itu pernah dan sudah lama diatur dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht/WvS). Dalam KUHP tersebut alasannya digunakan untuk melindungi harkat martabat dan kehormatan penguasa pada saat itu yang sedang menjajah Indonesia.
Dahulu pasal ini pernah beberapa kali diterapkan terhadap pejuang kemerdekaan, misalnya Bung Karno pernah dijerat dengan pasal itu karena tindakannya membacakan pidato pembelaan “Indonesia Menggugat”. Bung Karno dan rekannya dituduh ingin menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda dan menyebarkan propaganda. Tentu saja kejadian masa lalu tidak ingin terulang lagi pada masa kini dan yang akan datang.
Segala bentuk penghinaan merupakan perbuatan tercela dan tidak dibenarkan. Namun di sisi lain, diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sebagaimana telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden sangat berbahaya terhadap kebebasan berpendapat, menyampaikan pemikiran, dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Karena itu, menentang keberadaan pasal penghinaan terhadap presiden merupakan peryataan sikap yang perlu disuarakan agar kejadian dan kekhawatiran akan kejadian masa lalu tak terulang kembali. Tahun 2006, MK telah menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Disebut Bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik
Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku mereka yang berjudul “Why Nations Fail” sudah mengingatkan bahwa salah satu penyebab kegagalan negara adalah dikekangnya gerakan kedaulatan rakyat. Tak mudah bagi rakyat kebanyakan untuk memegang kedaulatan politik dan menciptakan perubahan sosial. Namun itu bukan sesuatu yang mustahil, dan negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat sudah membuktikannya, begitu pula Jepang, Botswana, dan Brasil.
Sumbahsih gerakan rakyat sebagai transformasi politik sangat diperlukan sebagai modal untuk mengubah bangsa yang melarat menjadi hebat. Buku tersebut menjadi pengingat dan bukti bahwa tidak selamanya negara yang berada dalam cengkraman atau dikepung sistem yang korup dan dan tidak cakap menjalankan organisasi kekusaan akan berkuasa selamanya.
Sebagaimana rakyat Inggris yang telah membuktikan untuk bangkit menuntut hak politik dan berhasil merebutnya untuk memaksimalkan peluang-peluang ekonomi yang terbentang di depan mata. Perjuangan rakyat Inggris tersebut berhasil membelokkan arah perjalanan politik dan ekonomi yang mencapai titik klimaksnya pada Revolusi Industri.
Pada akhirnya, organisasi kekuasaan itu harus dibatasi. Jika tidak dibatasi akan rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sudah banyak contoh negara yang gagal akibat tidak dibatasinya kekuasaan.
Hukum yang dibuat tidak boleh menjadi benteng dan alat yang digunakan penguasa untuk menggebuk rakyat yang menyampaikan kritik. Jika seorang penguasa tidak ingin mendapatkan hinaan dari rakyat, wujudkanlah kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.