Kunjungan tersebut merupakan pembuktian Jokowi kepada lawan politiknya di Indonesia bahwa ia memiliki kemampuan dalam berperan aktif menyelesaikan konflik internasional dan membangun perdamaian dunia.
Bagi saya, kunjungan ini termasuk kunjungan bersejarah. Sejak Indonesia merdeka, kunjungan kepala negara ke wilayah konflik internasional hanya terjadi dua kali.
Pertama, kunjungan Suharto ke Serbia dan Bosnia pada saat kedua negara sedang berperang. Kedua, kunjungan JK ke Afganistan pada saat negara ini sedang berperang melawan Taliban.
Bahkan dalam kunjungannya, JK juga bertemu dengan pemimpin Taliban untuk mengupayakan perdamaian di antara kedua pihak.
Keputusan Indonesia untuk netral dibuktikan dengan tidak ikut mengutuk serangan Rusia di Ukraina – meskipun sebelumnya sempat setuju dengan resolusi PBB yang meminta Rusia menghentikan serangannya di Ukraina – menurut saya merupakan langkah jitu dalam upaya mengimplementasikan prinsip gerakan non-blok (non-alignment movement) dan perlu di apresiasi.
Jokowi berhasil menunjukkan bahwa sebagai presidensi G20, Indonesia tidak tunduk pada negara-negara Barat.
Keputusan Jokowi untuk tetap mengundang Rusia dalam KTT G-20 di Bali pada November 2022, menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat didikte oleh kepentingan barat.
Sikap itulah yang membedakan Jokowi dan SBY. Ketika masih memimpin Indonesia, SBY tampak tidak netral dalam forum G20 karena cenderung mengutamakan kepentingan negara-negara barat di Asia.
Bagi saya, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia tidak semata-mata untuk membawa misi perdamaian. Ia ingin meninggalkan legasi bahwa ia adalah negosiator yang ulung.
Hal ini sering dilakukan oleh para pemimpin dunia sebelum memasuki masa pensiunnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.