JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak berharap prinsip penyelesaian hukum secara restorative justice atau keadilan restoratif oleh Kejaksaan dapat ditingkatkan.
"Tentu saja ke depan penyelesaian perkara lewat restorative justice ini perlu ditingkatkan lagi sebagai upaya mengembangkan alternatif pemidanaan modern dan juga untuk menyelesaikan over capacity Lembaga Pemasyarakatan yang sudah darurat," ujar Barita kepada Kompas.com, Rabu (15/6/2022).
Ia pun menjelaskan bahwa langkah restorative justice merupakan tindakan diskresi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu perkara.
Baca juga: Mengenal “Restorative Justice” dan Deretan Implementasinya di Indonesia
Dalam konteks ini, apabila Jaksa menilai bahwa suatu perkara tidak layak untuk naik ke pengadilan maka dapat diterbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
“Hal ini sejalan dengan asas dominus litis yang hanya dimiliki oleh Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan,” ucap dia.
Menurut Barita, substansi utama dalam penerapan restorative justice adalah keadilan bagi korban dalam perkara hukum.
Ia menegaskan, hak korban, perlindungan hukum kepada korban, serta kesediaan korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku harus termuat dalam proses restorative justice itu.
“Jadi yang diutamakan adalah perspektif korban, ini tidak boleh bias menjadi dibalik misalnya seolah-olah karena kasihan pelaku yang mencuri untuk membayar uang sekolah anaknya jadi dihentikan perkaranya, tidak demikian,” imbuhnya.
Baca juga: Kronologi Anak yang Curi Sapi Ibunya Dibebaskan Melalui Restorative Justice
Selain itu, ia mengatakan, penyelesaian atau penghentian penuntutan dengan pendekatan restorative justice juga merupakan upaya menghadirkan hukum untuk memulihkan keadaan dan situasi sosial masyarakat serta tatanan sosial pada proporsi yang ideal sesuai dengan nilai luhur budaya masyarakat yang Pancasilais, gotong royong.
Selain itu pendekatan tersebut harus menghadirkan ruang yang cukup bagi terpeliharanya kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Selanjutnya, pendekatan restorative justice juga dimaksudkan untuk memberikan akses keadilan dan kebenaran bagi masyarakat kecil.
“Dan sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan,” tambah dia.
Ia menambahkan, sejak penyelesaian melalui restorative justice dilaksanakan tahun 2020, sudah ada ratusan perkara sederhana, perkara ringan, sengketa dalam keluarga yang diselesaikan Kejaksaan.
Baca juga: Kasus Penganiayaan Anak Anggota DPR Tak Bisa Diselesaikan dengan Restorative Justice, Ini Alasannya
Ia menilai ini menjadi wujud kehadiran negara dalam penegakan hukum yang juga memuat fungsi-fungsi pemulihan, rehabilitasi, dan menjaga tatanan masyarakat yang adil dan beradab.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pernah menyatakan bahwa jaksa adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.