JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono tidak etis dan sarat konflik kepentingan.
Adapun pernyataan yang dimaksud yakni terkait rasa heran Ali terhadap awak media yang selalu mempertanyakan pengurangan vonis jaksa Pinangki Sirna Malasari.
“Ini tidak etis sama sekali karena (sarat) konflik kepentingan. Ada semangat korps, dan mencolok perbedaan perlakuannya,” terang Asfinawati pada Kompas.com, Kamis (23/6/2021).
Ia menambahkan, pernyataan itu juga menjadi indikasi bahwa aparat penegak hukum kerap menunjukan sikap bias dalam menangani perkara yang menyangkut anggota korpsnya sendiri.
“Kelakuan seperti ini yang melahirkan KPK, karena penegak hukum terbukti bias begitu menyangkut korps mereka sendiri,” tutur dia.
Asfinawati berharap pihak kejaksaan tidak memberikan pernyataan yang membuat hilangnya kepercayaan masyarakat.
“Untuk Kejagung, agar publik tidak semakin kehiangan kepercayaan kepada kejaksaan ya dengan suara publik,” imbuhnya.
Dilansir dari Antara, Ali mempertanyakan pemberitaan awak media terkait dengan pemangkasan vonis jaksa Pinangki.
Diketahui di tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memutuskan untuk mengurangi vonis jaksa Pinangki dari sebelumnya 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Banyak pihak menilai bahwa keputusan pengurangan vonis ini menunjukan penegakan hukum pada tindak pidana korupsi melemah.
Ali menyebut bahwa pihak kejaksaan menghormati putusan dari majelis hakim tersebut. Ia juga meminta awak media untuk tidak hanya fokus pada vonis jaksa Pinangki, namun juga para tersangka lain.
Dari jaksa Pinangki, lanjut Ali, negara justru bisa mendapatkan mobil.
“Malah dari Pinangki, negara dapat mobil. Yang lain kan susah ngelacaknya itu,” sebut dia.
Mobil yang dimaksud Ali adalah BMW X-5 yang dirampas hakim untuk dikembalikan pada negara karena diduga merupakan hasil korupsi.
Pinangki merupakan terpidana perkara suap dan pencucian uang terkait dengan kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) pada terpidana “cessie” Bank Bali, Djoko Tjandra.
Baca juga: Kejaksaan Terima Salinan Putusan Banding Kasus Pinangki, Belum Putuskan Kasasi
Dalam perkara ini Pinangki ikut menyusun “action plan” berisi 10 tahap pelaksanaan untuk memnta fatwa MA atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial “BR” yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan “HA” yaitu Hatta Ali selaku pejabat MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500 ribu dolar AS sebagai uang muka.
Pinangki juga terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara dengan Rp 5,25 miliar.
Uang itu adalah suap dari Djoko Tjandra, yang kemudian oleh Pinangki digunakan untuk membeli mobil mewah BMW X5, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan, pembayaran dokter “home care”, pembayaran sewa apartemen dan pembayaran kartu kredit.
Perbuatan selanjutnya Pinangki dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan uang sejumlah 10 juta dolar AS pada pejabat Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam “action plan”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.