Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar UGM: TWK Rentan Jadi Alat Singkirkan Pegawai yang Tak Sejalan dengan Penguasa

Kompas.com - 09/06/2021, 15:15 WIB
Sania Mashabi,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) rentan disalahgunakan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto menilai TWK berpotensi menjadi alat untuk menyingkirkan pegawai yang tak sejalan dengan kepentingan penguasa.

Pasalnya, Sigit menuturkan, sampai saat ini tidak ada penjelasan yang masuk akal mengenai relevansi TWK dengan kinerja, misi dan reputasi KPK.

"Kini TWK juga berpotensi untuk dipakai sebagai alat untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan pemegang kuasa pada institusi tertentu," kata Sigit kepada Kompas.com, Rabu (9/6/2021).

Baca juga: YLBHI: Pernyataan Tjahjo Kumolo Membuat Semakin Jelas Siapa Aktor di Balik Pelemahan KPK

Menurut Sigit, hal semacam itu pernah terjadi dalam proses penelitian khusus (litsus) di era Orde Baru (Orba).

Ia menuturkan, litsus digelar tanpa maksud yang jelas. Diduga kuat, litsus digunakan untuk menyingkirkan orang-orang ekstrem kiri, kanan, tengah, atau kelompok yang tak sejalan dengan kebijakan penguasa.

Sigit khawatir tes semacam itu menjelma atau diganti dengan TWK yang saat ini terjadi di KPK.

"Sekarang, tes warisan Orba ini dikhawatirkan telah menjelma atau diganti dengan TWK. Mereka yang dinyatakan tidak lolos dalam tes semacam ini akan dianggap tidak nasionalis atau tidak memiliki wawasan kebangsaan," ucap dia.

Baca juga: Saat Menpan-RB Tjahjo Kumolo Samakan TWK KPK dengan Litsus Era Orba

Sebelumnya diberitakan, 75 pegawai KPK dinyatakan tak lolos TWK. Berdasarkan nama-nama yang beredar, mereka adalah penyelidik dan penyidik kasus besar.

Ada pula pegawai yang pernah mengkritik pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri dan menentang revisi UU KPK. Kemudian, 51 dari 75 pegawai yang tak lolos TWK bakal diberhentikan dan sisanya akan dibina.

Belakangan, pegawai KPK yang tak lolos melaporkan soal dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK ke Komnas HAM.

Mereka mempersoalkan dasar hukum TWK yang hanya diatur melalui Peraturan KPK. Selain itu, sejumlah pertanyaan TWK dianggap melecehkan dan melanggar privasi warga negara.

Dalam proses penyelidikan, pimpinan KPK tak memenuhi panggilan Komnas HAM dan meminta penjelasan mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan TWK.

Baca juga: Saat Firli Bahuri Terpilih Jadi Ketua KPK: Suara Bulat Komisi III dan Dugaan Ada Operasi Senyap

Sikap KPK ini didukung oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo.

Menurut Tjahjo, tidak ada kaitan antara penyelenggaraan TWK dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Tjahjo menilai, TWK merupakan hal yang biasa. Ia membandingkan dengan pengalamannya mengikuti penelitian khusus (litsus) pada era Orde Baru.

Hanya saja, menurut Tjahjo, saat ini pertanyaan yang digali dalam TWK lebih luas, tidak hanya soal keterkaitan seseorang dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Zaman saya litsus tahun 85 mau masuk anggota DPR itu, dulu kan fokus PKI, sekarang kan secara luas, secara kompleks," ujar Tjahjo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com