JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkap perbedaan serangan siber yang terjadi pada pemilihan umum sebelum dan sesudah tahun 2014.
Menurut Arief, sejak Pemilu 2014, serangan siber makin masif karena kian canggihnya teknologi informasi.
Serangan siber masuk ke ranah privat penyelenggara dan kian sulit dikontrol.
"2014 menuju ke 2019 itu peningkatan penggunaan konten privat itu makin tinggi, serangan juga makin tinggi," kata Arief saat menghadiri sebuah acara di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat, dipantau melalui YouTube Bawaslu RI, Jumat (28/8/2020).
Baca juga: BSSN Catat Adanya 88,4 Juta Serangan Siber Selama Pandemi Corona
Arief bercerita bahwa dirinya telah menjadi penyelenggara pemilu sejak 1999. Oleh karenanya, ia tahu betul perkembangan penyelenggaraan pemilu Tanah Air.
Selama Pemilu 2004 dan 2009, umunya serangan siber menyasar ke situs daring KPU.
Namun, pada Pemilu 2014 dan 2019, serangan itu masuk ke ranah privat seperti surel, media sosial, hingga WhatsApp penyelenggara.
Pada 2019, serangan siber makin luas hingga menimbulkan hoaks yang luar biasa.
"Sejak pemilu 2014 email saya di-hack, kemudian akun medsos saya, jadi ya Arief Budiman, bukan yang (situs) KPU. Itu sudah mulai di-hack satu-satu," ujar Arief.
"Bahkan Whatsapp saya, ini kan jalur informasi yang digunakan melalui media internet, itu mulai diserang," tuturnya.
Baca juga: Hadapi Pilkada 2020, PDI-P Siapkan Tim Siber
Arief khawatir serangan siber menjadi semakin masif di gelaran Pilkada 2020.
Apalagi, Pilkada tahun ini akan banyak memanfaatkan teknologi informasi, mengingat adanya pembatasan pertemuan langsung akibat pandemi Covid-19.
Meski KPU telah mengatur masa kampanye Pilkada yakni pada 26 September hingga 5 Desember, Arief memprediksi, kampanye di luar jadwal masih akan terjadi melalui media sosial.
Dengan masifnya penggunaan media sosial, pengawasan kampanye pun dinilai kian sulit dilakukan.
Oleh karenanya, kata Arief, perlu kerja keras para penyelenggara terkait hal ini.