Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdasarkan Undang-undang, Bisakah Koruptor Dihukum Mati?

Kompas.com - 09/12/2019, 18:55 WIB
Dani Prabowo,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo mendapat pertanyaan menohok dari salah seorang siswa SMK 57 Jurusan Tata Boga, Harley Hermansyah, ihwal sikap Indonesia yang tidak tegas terhadap koruptor.

Pertanyaan itu diajukan Harley saat Jokowi menyambangi SMK 57 Pasar Minggu, untuk menghadiri pentas drama bertajuk ‘Prestasi Tanpa Korupsi’, Senin (9/12/2019) pagi.

“Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?” tanya Harley.

Baca juga: Jokowi Sebut Hukuman Mati bagi Koruptor Dapat Diterapkan, jika...

Jokowi kemudian menjawab bahwa sejauh ini memang UU tidak mengtur hukuman mati terhadap koruptor.

“Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu dilakukan, tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati,” jawab Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian bertanya kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang turut hadir dalam kegiatan tersebut.

Menurut Yasonna, hukuman mati saat ini hanya berlaku bagi kasus korupsi terkait bencana alam.

Baca juga: Mahfud MD Sebut Industri Hukum Jadi Penghambat Visi Presiden Jokowi

Kendati demikian, hingga kini belum ada koruptor bencana alam yang sampai divonis mati pengadilan.

“Yang sudah ada (aturannya) saja belum pernah diputuskan hukuman mati,” kata Jokowi.

Namun benarkah hanya koruptor terkait bencana alam yang bisa dihukum mati?

Berdasarkan penelusuran Kompas.com di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’.

Baca juga: Hari Antikorupsi Sedunia, Jaksa Agung Paparkan Capaian Lembaganya

Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.

Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil.

Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adnaya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Baca juga: Kocak, Iwan Fals Ledek Para Koruptor pada Hari Antikorupsi Sedunia

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com