Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penghapusan RDTR Dinilai Lebih Mendesak ketimbang Amdal dan IMB

Kompas.com - 25/11/2019, 16:38 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai penghapusan rencana detail tata ruang (RDTR) lebih mendesak ketimbang rencana pemerintah menghapus izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Wakil Departemen Kampanye Walhi Edo Rahman mengatakan, wacana penghapusan RDTR lebih darurat ketimbang menghilangkan IMB dan amdal. Ia beralasan, keberadaan RDTR kerap diabaikan oleh pemerintah daerah.

"Karena faktanya, sampai hari ini misalnya, dari kurang lebih 514 kabupaten dan kota, berapa sih yang sudah punya RDTR itu? Data ATR/BPN baru 53. Nah, artinya pemda mungkin menganggap ini enggak wajib," ujar Edo di kantor Walhi, Senin (25/11/2019).

Ia mengatakan, ketidakpatuhan kepala daerah terhadap RDTR berbanding terbalik dengan upaya pemerintah yang ingin menghapuskan IMB dan amdal.

Edo mengungkapkan, salah satu penyebab kepala daerah masih abai terhadap RDTR karena dalam penyusunan amdal masih melekat pada pemrakarsa atau pihak yang mengajukan proyek, salah satu dari empat aspek dalam konsep amdal.

Baca juga: Walhi Minta Pemerintah Hati-hati soal Wacana Hapuskan Amdal dan IMB

Sebaliknya, Edo justru menyarankan agar pemerintah mengambil alih kekuatan amdal dengan ditopang perbaikan sistemnya. Dengan demikian, pemrakarsa tidak lagi melekat pada penyusunan amdal.

"Ini mungkin salah satu faktor juga yang mengemuka bahwa IMB dan amdal menjadi penghalang atau penghambat investasi," ujar dia.

Edo menduga, dasar hukum wacana penghapusan amdal dan IMB karena adanya nomenklatur baru, yaitu Kementerian Kemaritiman dan Investasi yang merupakan perubahan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

"Mungkin salah satu dasar hukumnya kenapa kemudian wacana ini dinaikkan, yaitu karena ada Kemenko Kemaritiman dan Investasi. Mungkin itu salah satu kemungkinan untuk menjawab karena adanya kementerian (Investasi) itu," kata dia.

Sebelumnya, pemerintah akan mempertimbangkan keberlangsungan IMB. Aturan tersebut dianggap menjadi salah satu alasan penghambat investasi.

Rencana terebut berada dalam skema perundangan omnibus law yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang merangkum lebih dari 70 undang-undang.

Baca juga: Soal Rencana Penghapusan IMB dan Amdal, Walhi: Kerusakan Alam Akan Semakin Masif

Ditargetkan, draf omnibus law berada di tangan legislatif sebelum tanggal 12 Desember 2019.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, izin atau lisensi investasi hanya diperuntukkan bagi yang dianggap membahayakan keamanan, keselamatan, dan lingkungan. Selebihnya, diatur dengan standar.

"Soal IMB, sebenarnya izin mendirikan bangunan tidak perlu izin atau lisensi, dengan model risk based kita perlu menetapkan standarnya," kata Iskandar dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Jumat (15/11/2019).

Namun, Iskandar menegaskan, secara substansi standar baru yang ada akan tetap mengatur kriteria dalam mendirikan bangunan. Sementara pengawasan sampai sanksi perizinan tetap ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com