JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan, operasi tangkap tangan merupakan bukti bahwa masih banyak kepala daerah yang melakukan korupsi.
Hal itu disampaikan Febri menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyebut bahwa operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah bukan merupakan suatu yang spesial.
"Jika tidak ada pengungkapan kasus korupsi daerah seperti ini, bukan tidak mungkin banyak pihak akan berpikir kondisi sedang baik-baik saja," kata Febri dalam keterangan tertulis, Senin (18/11/2019).
Febri menyampaikan, sejauh ini ada 120 kepala daerah yang diproses KPK. Sebanyak 49 di antaranya terjaring dalam operasi tangkap tangan.
Baca juga: KPK Belum Lakukan OTT Pasca-UU Baru Berlaku, Ini Kata Saut Situmorang
Menurut Febri, lewat OTT itu pula masalah pendanaan dalam konstelasi politik yang diduga berkorelasi dengan praktik korupsi timbul ke permukaan dan menjadi perhatian.
"Yang terpenting adalah agar biaya proses demokrasi yang tidak murah ini tidak justru menghasilkan korupsi yang akibatnya bisa jauh lebih buruk pada masyarakat," kata Febri.
Febri mengatakan, KPK tidak hanya melakukan penindakan lewat OTT tetapi juga berupaya mencegah korupsi antara lain lewat program koordinasi dan supervisi pencegahan serta penguatan aparatur pengawasan intern pemerintah (APIP).
KPK pun berharap Kemendagri dan instansi lainnya ikut menjadi mitra dalam mencegah korupsi di daerah.
Febri pun mengingatkan bahwa penindakan tetap mesti dilakukan ketika korupsi sudah tak dapat dicegah.
"Jika kejahatan telah terjadi dan buktinya cukup, penegak hukum tidak boleh kompromi apalagi membiarkan kejahatan terjadi, apalagi tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa," kata Febri.
Sebelumnya, Tito menyebut OTT yang sering menimpa kepala daerah adalah hal yang biasa. Sebab, sistem politik yang menyebabkan mereka melakukan hal tersebut.
Sistem politik yang dimaksud Tito adalah sistem yang membuat para calon kepala daerah mesti mengeluarkan biaya yang sangat besar saat hendak berkontestasi di pilkada.
Bahkan, Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung. Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.
Baca juga: Jokowi Perkuat APIP, Ketua KPK: Mudah-mudahan OTT Berkurang
Tito pun membandingkan jumlah pengeluaran calon kepala daerah dengan gaji yang diterima sebagai kepala daerah.
Menurut dia, tiap kepala daerah akan rugi karena gaji dan modal politik yang dikeluarkan tidak sebanding.
"Dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa," ujar mantan Kapolri ini.
Berdasarkan biaya politik itu, menurut Tito, OTT yang sering menimpa kepala daerah adalah hal yang biasa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.