BOGOR, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly memastikan, pemerintah akan mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pemerintah menilai, revisi perlu dilakukan karena banyaknya orang yang menjadi korban pasal karet dalam UU tersebut.
"Jadi saya dan nanti dengan Menkominfo akan duduk bersama untuk melihat, untuk merevisi undang-undang ITE. Tentunya pasti (direvisi)," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (2/9/2019).
Baca juga: Kuasa Hukum Baiq Nuril Dorong Revisi UU ITE
Hal itu disampaikan Yasonna usai mendampingi Presiden Jokowi menerima Baiq Nuril Maqnun, korban pelecehan seksual yang justru dijerat pidana lewat UU ITE.
Baiq Nuril belakangan bebas berkat amnesti dari Presiden Jokowi.
Yasonna berharap kasus yang menimpa Baiq Nuril tidak kembali terulang di kemudian hari. Oleh karena itu, ia mengakui bahwa UU ITE yang disahkan pada 2016 lalu itu perlu direvisi.
"Ini kalau kita revisi lagi, kali kedua kita revisi. Memang setelah kita lihat, pasti adalah yang harus kita sempurnakan," kata dia.
Mengenai pasal yang akan direvisi, menurut Yasonna, masih harus dibicarakan lagi dengan berbagai pihak terkait.
Baca juga: Wiranto Sebut Perlu Revisi UU ITE agar Penyebaran Hoaks Berkurang
Namun intinya dalam merevisi UU ITE ini, pemerintah ingin mencegah agar masyarakat tidak lagi mudah dikriminalisasi. Tapi pemerintah juga tidak akan menghilangkan ketentuan sanksi pidana di UU tersebut.
"Bukan berarti menghilangkan (sanksi pidana), karena kalau kita hilangkan itu juga persoalannya bisa gubrak juga nanti. Semua orang bisa bebas melakukan apa saja sesukanya di sosial media," kata Yasonna.
Yasonna menambahkan, pengajuan revisi UU ITE ini kemungkinan baru bisa diajukan ke DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada Oktober mendatang.
"Tidak mungkin pada periode ini, karena DPR akan selesai pada September, tidak akan ngejar. Nanti kita bawa pada periode selanjutnya," kata politisi PDI-P ini.