Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Baiq Nuril, DPR dan Pemerintah Diminta Segera Rampungkan RUU PKS

Kompas.com - 06/07/2019, 14:28 WIB
Ihsanuddin,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi Perempuan Mahardhika mendesak pemerintah dan DPR segera merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, RUU PKS mendesak untuk disahkan agar tak ada lagi korban pelecehan seksual yang justru dikriminalisasi seperti kasus Baiq Nuril Maqnun.

"Pemerintah dan DPR harus segera merampungkan RUU PKS agar tak ada lagi Baiq Nuril lainnya," kata Mutiara, dalam jumpa pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (6/7/2019).

Baca juga: Isi Lengkap Surat Baiq Nuril untuk Jokowi Setelah PK Ditolak MA

Mutiara menuturkan, dalam RUU PKS, terdapat sejumlah pasal progresif yang membuat korban pelecehan seksual bisa lebih mudah menempuh langkah hukum dan tidak rentan dikriminalisasi.

Misalnya, dalam RUU ini diakui 9 bentuk kekerasan yang salah satunya adalah pelecehan seksual baik dalam bentuk tindakan fisik ataupun non-fisik.

Sementara, pasal-pasal kekerasan seksual yang saat ini ada di KUHP lebih mengatur pada kekerasan fisik saja.

"Artinya, nantinya pelecehan seksual non-fisik atau verbal yang seperti dialami Baiq Nuril juga bisa diproses secara hukum," kata dia.

Selain itu, RUU ini pun mengakui keterangan korban, serta informasi elektronik sebagai alat bukti lain yang memberi peluang bagi korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian.

Kasus yang dialami Baiq Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepsek M pada 2012.

Dalam perbincangan itu, Kepsek M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.

Baca juga: Pekan Depan, Baiq Nuril Ajukan Amnesti ke Presiden Jokowi

Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.

MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.

Belakangan, Baiq Nuril mengajukan PK, tetapi ditolak oleh MA. 

Kompas TV Sidang lanjutan Peninjauan Kembali atau PK Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus UU ITE kembali digelar Rabu (16/1) siang di Pengadilan Negeri Mataram. Dalam persidangan kali ini, jaksa tetap menyatakan Nuril bersalah dan melanggar UU ITE.<br /> <br /> Jaksa menilai Baiq Nuril bersalah dan telah melakukan pelanggaran UU ITE lantaran merekam, mentransmisikan, dan menyebarluaskan percakapan asusila mantan atasannya yang juga mantan Kepala SMA 7 Mataram, Muslim.<br /> <br /> Kuasa hukum Nuril meminta hakim agar pihaknya menghadirkan saksi ahli atas tanggapan jaksa, tetapi majelis hakim yang diketuai Sugeng Jauhari menolaknya.<br /> <br /> Hakim menolak dengan alasan tidak relevan karena hakim di Pengadilan Mataram hanya sebagai moderator dan yang memutuskan perkara permohonan PK adalah Mahkamah Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com