Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan KPK jelang Pemilu: Telusuri Rekam Jejak, Tolak Politik Uang!

Kompas.com - 15/04/2019, 11:03 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau kepada masyarakat untuk mengutamakan rekam jejak saat menentukan pilihannya di Pemilu 2019 pada 17 April 2019 nanti.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, masa tenang yang ada saat ini bisa dimanfaatkan publik untuk melihat kembali rekam jejak calon yang akan dipilih.

"Karena ini sudah minggu tenang, maka pertama, masih ada waktu untuk kembali merenungkan track record yang akan dipilih, walau sudah ada pegangan siapa yang akan dipilih," kata Saut kepada Kompas.com, Senin (15/4/2019).

Saut menegaskan, pihaknya selalu menginginkan kontestasi politik yang cerdas dan berintegritas. Oleh karena itu, upaya ini harus didukung oleh seluruh pihak, mulai dari peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan masyarakat selaku pemilih.

Baca juga: Buka-bukaan Biaya Caleg demi Kursi di Senayan

Ia juga mengingatkan semua pihak untuk melawan politik uang. Caranya, dengan peserta pemilu tidak memberi uang kepada pemilih dan penyelenggara. Selain itu, penyelenggara dan pemilih juga harus menolak apabila ditawari uang oleh peserta pemilu.

"Money politic bisa menyerang siapa saja. Untuk itu agar dihindari. Termasuk menghindari money politic kepada penyelenggara pemilu," katanya.

Senada dengan Saut, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif juga menginginkan Pemilu 2019 berjalan dengan adil dan jujur. Caranya dengan menolak politik uang dan melihat rekam jejak.

"KPK mengimbau kepada masyarakat agar tidak meminta uang dan menolak pemberian uang dari calon legislatif," kata dia, Senin pagi.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Bingung Pilih Caleg?

Laode juga mengingatkan peserta Pemilu 2019 untuk tak menawarkan menawarkan uang kepada masyarakat.

"Ayo kita laksanakan pesta demokrasi dengan jujur dan adil," ungkapnya.

Pada kesempatan sebelumnya, Laode pernah menegaskan, politik uang justru merugikan pemilih sendiri.

"Kalau dia tawari Rp 100.000, enggak usah Rp 100.000 deh, Rp 1 juta. Rp 1 juta, kamu bagi dengan 5 tahun. Satu tahun itu berapa? 365 hari. 365 hari kali 5 berapa? 1.500-an (hari). Jadi Rp 1 juta dibagi 1.500 (hari) berapa? Sedikit banget. Jadi harga kamu itu sedikit banget," ujarnya dalam diskusi #PilihYangJujur di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Jumat (22/3/2019) sore.

Ia menjelaskan, apabila calon yang berpolitik uang terpilih, potensi dia melakukan tindak pidana korupsi sangat tinggi. Padahal mereka memiliki fungsi yang besar yang harus dipertanggungjawabkan ke publik.

"Orang yang membayar itu tidak lagi datang siap mengayomi, menjalankan amanah rakyat. Jungkir balik siap, enggak mungkin. Oleh karena itu kita menolak yang namanya politik uang. Jangan mau sekali dibayar," kata dia

Laode juga menekankan publik menggali berbagai informasi menyangkut calon pilihannya. Hal itu guna memastikan apakah mereka patut dipilih.

"Jadi kita cari, oh pas di Google dia mantan napi koruptor, singkirkan. Oh dia pernah KDRT, enggak. Kan (informasi di) Google banyak sekarang," kata Laode.

Apabila tak menemukan catatan kejahatan yang dilakukan calon pilihannya, pemilih bisa mengamati kontribusi-kontribisi mereka di lingkungan sekitarnya. Jika tetap tak menemukan kontribusi positifnya, lebih baik tidak usah dipilih.

"Kalau enggak ada, ya, enggak usah dipilih. Ya walaupun dasinya bagus, cantik, senyumnya dari kiri, kanan, cantik banget, enggak ada gunanya. Karena kita bukan memilih bintang iklan," ungkap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com