JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah calon anggota legislatif menceritakan perjuangan mereka untuk mendapatkan satu kursi di parlemen.
Terkait ongkos politik, miliaran rupiah menjadi nominal yang dianggap normal untuk dikeluarkan dalam kontestasi ini.
Mantan anggota DPR dua periode, Poempida Hidayatulloh, menceritakan pengalamannya terkait ongkos politiknya pada Pileg 2009 dan 2014 lewat Partai Golkar.
Dia juga berbagi pandangannya tentang modal miliaran rupiah itu tidak bisa jadi standar bagi caleg lain.
Baca juga: KPK Sebut Caleg yang Lapor Harta Kekayaan Baru 66 Persen
Adapun Poempida telah mengundurkan diri sebagai anggota DPR karena diangkat menjadi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Dia juga tidak mencalonkan diri lagi pada Pileg 2019 karena masa jabatannya di BPJS Ketenagakerjaan berakhir pada 2021.
Hitung-hitungan ongkos
Poempida dulunya merupakan caleg dari daerah pemilihan Sumatera Barat I. Sejak awal pencalegan, dia sudah bisa mengalkulasikan besar biaya yang harus dia keluarkan.
"Kalau saya dulu begini untuk menghitung biaya saya. Untuk lolos, dulu saya perlu suara 180.000. Saya misalnya cuma bisa mengeluarkan biaya per orang itu Rp 50.000 per orang," ujar Poempida, kepada Kompas.com, Kamis (11/4/2019).
Poempida mengatakan, uang Rp 50.000 itu bukan bentuk politik uang. Uang tersebut merupakan ongkos sosialisasi yang dia keluarkan untuk satu orang.
Misalnya, untuk kaus dan konsumsi saat kampanye. Poempida mengatakan, itu hanyalah gambaran idealnya.
Dia sendiri juga tidak memaksakan diri untuk bisa memenuhi standar itu. Biaya sosialisasi itu menjadi satu hal yang dia keluarkan.
Poempida juga membutuhkan ongkos untuk mencetak alat peraga kampanye (APK). Untuk APK, dia bekerja sama dengan caleg lokal untuk menekan biaya kampanye.
Misalnya, satu spanduk digunakan untuk sosialisasi dua caleg yang berbeda tingkat.
Selain itu, Poempida pribadi mengeluarkan uang untuk melakukan survei di dapilnya.
Survei ini dia lakukan mendekati akhir masa kampanye. Meski demikian, dia mengakui bahwa hasil survei caleg tidak bisa seakurat pilpres.
Baca juga: Cerita Caleg: Anggiasari, Penyandang Disabilitas yang Ingin Berjuang di Parlemen