KOMPAS.com – Kepala Humas dan Pusat Data Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, melalui akun Twitter-nya menuliskan kegusarannya tentang kebiasaan masyarakat menonton proses terjadinya suatu bencana.
Dalam unggahan video longsor di tambang Gunung Puger, Jember, Sutopo menyayangkan masyarakat yang justru menonton bencana yang terjadi.
"Kita sering abai risiko. Berada di daerah bahaya tanpa antisipasi memadai. Bahkan menonton saat bencana yang sangat rawan. Lalu saat ada susulan bencana, timbullah korban," tulis Sutopo.
1 orang hilang & 1 orang luka0 sesak napas akibat longsor tambang Gunung Puger di Jember pada 25/3/2019.
Kita sering abai risiko. Berada di daerah bahaya tanpa antisipasi memadai. Bahkan menonton saat bencana yang sangat rawan. Lalu saat ada susulan bencana timbulah korban. pic.twitter.com/4Bds9DQXwa
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) 25 Maret 2019
Saat dihubungi Selasa (26/3/2019) siang, Sutopo menyebut tidak ada larangan untuk mengabadikan suatu kejadian, termasuk bencana. Namun ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelumnya.
"Kami hanya bisa mengimbau agar mereka melihat risiko dan ancaman yang ada di sekitarnya. Posisi mengambil foto hendaknya di tempat aman. Jauh dari kemuingkinan yang berbahaya. Tidak harus berdekatan. Mereka bisa mengukur dirinya apakah di tempat aman atau tidak," ujar Sutopo.
Baca juga: 5 Fakta Turis Asing Ingin Dekati Kawah hingga Banting Petugas di Gunung Bromo
Menurut Sutopo, kebiasaan masyarakat yang senang berswafoto dan mengabadikan peristiwa di lokasi bencana dapat berujung bahaya bagi mereka.
"Masyarakat Indonesia secara umum suka berswafoto dan mengabadikan peristiwa termasuk bencana. Namun seringkali mereka tidak menyadari atau bahkan mengabaikan risiko bencana yang dapat menimpanya. Beberapa kejadian ini terjadi sehingga menimbulkan korban," ujar dia.
Padahal, jika sampai menjadi korban karena terlalu sibuk mengabadikan momen, bukan hanya dia yang bersangkutan yang menerima akibatnya, tetapi juga keluarga, masyarakat sekitar, juga tim penyelamat yang bertugas.
"Kadang sudah dilarang pun, mereka nekat. Misalnya dilarang mendekat puncak kawah tapi mereka nekat. Saat terjadi letusan, mereka jadi korban dan evakuasinya sulit," ucap Sutopo.
Meskipun begitu, masyarakat tidak berarti dilarang mengabadikan atau mendokumentasikan peristiwa bencana yang mereka alami.
Untuk banyak kasus, foto, video, atau laporan yang datang dari masayarakat sangat membantu kerja badan-badan yang menangani bencana.
"Foto selfie itu sangat bermanfaat dalam informasi bencana. BNPB dan MIT, Usaid, BPBD DKI mengembangkan aplikasi Peta Bencana yang berbasis laporan masyarakat dari medsos," ucap Sutopo.
"Ini sudah dipakai untuk peta banjir Jakarta. Hasilnya laporan bencana sangat cepat terkumpul," tuturnya.
Jadi, masyarakat yang kebetulan ada di tempat saat sebuah bencana terjadi, hal utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan diri hingga dirasa berada di tempat yang aman dari jangkauan bencana.
Setelah itu, mengambil foto, video, atau dokumentasi lainnya diperkenankan, demi kepentingan informasi untuk pihak yang lebih luas.
Baca juga: Fakta Bencana Karhutla di Riau, Kebakaran Semakin Parah hingga Kabut Selimuti Dumai
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.