KOMPASIANA - Bambang Suryo dikenai sanki seumur hidup oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI untuk tidak melakukan aktivitas di ruang lingkup sepak bola nasional. Putusan tersebut baginya dianggap janggal karena alih-alih mengungkap kasus tabir mafia pengaturan skor, justru ia dijatuhi hukuman.
Atas vonis itu, Bambang Suryo menilai ada kejanggalan dari vonis tersebut, seperti belum pernah ada pemanggilan terhadap dirinya terlebih dahulu oleh Komdis.
Putusan itu diterima melalui surat dari Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang berbunyi: "Komite Disiplin PSSI menguatkan keputusan Komite Disiplin PSSI tahun 2015 dengan merujuk kepada pasal 72 ayat (4) jo. pasal 141 Kode Disiplin PSSI, Sdr. Bambang Suryo dihukum larangan ikut serta dalam aktivitas dalam kegiatan sepakbola di lingkungan PSSI seumur hidup karena telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 72 ayat (4) jo. pasal 141 Kode Disiplin PSSI."
Selain ramainya pengungkapan kasus pegaturan skor pada sepak bola Indonesia, masih ada artikel menarik lainnya seperti kisah perjalanan wisata di Toraja hingga menilik perilaku para pemmilih saat Pemilah Serentak pada 2019 nanti.
Berikut ini 5 artikel pilihan terpopuler di Kompasiana selama sepekan terakhir:
1. Ketika Bambang Suryo Merasa Dirinya Semut yang Diinjak Gajah
Hukuman yang didapat Bambang Suryo ini dianggap pantas oleh PSSI karena yang bersangkutan kerap disebut dan dituduh berusaha menyuap pelatih PS Ngada yakni Kletus Marselinus Gabhe, yang bertemu Persekam Metro FC di Liga 3 2018.
Bambang Suryo akhirnya dijatuhi hukumman seumur hidup dari segala aktivitas di ruang lingkup sepak bola nasional. Meski tidak menyangka, Bambang Suryo tenang menanggapi, bahkan menganggap bahwa itu adalah bagian dari strateginya untuk mengetahui apakah PS Ngada sebenarnya ikut "bermain" dalam match fixing atau tidak.
Sesudah vonis ini, tulis Arnold Adoe, menarik melihat reaksi Bambang Suryo yang menganggap dirinya ibarat semut yang diinjak gajah.
"Ibarat saya ini semut yang diinjak oleh gajah. Tapi semut yang diinjak oleh gajah akan berontak," ujar Bambang Suryo. (baca selengkapnya)
2. Menyelisik Relung-relung Ilmu "Editing"
Menurut Bambang Trim, nomenklatur editing sebagai ilmu mungkin tidak terlalu dikenal di dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Ingatnya, dulu pernah digunakan sebagai nama Program Studi D-3, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, di Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Itupun hanya satu kali, setelahnya tidak ada lagi.
Seseorang yang belajar editing secara autodidak, lanjutnya, tanpa mengambil pendidikan formal atau nonformal di bidang editing tentu tidak akan banyak tahu "lekuk-lekuk" ilmu editing yang begitu banyak.
"Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar editor di Indonesia. Mereka lahir sebagai editor autodidak dan umumnya hanya berbekal penguasaan terhadap suatu bidang ilmu, tetapi tidak untuk ilmu editing atau ilmu penerbitan," tulisnya. (baca selengkapnya)