JAKARTA, KOMPAS.com - Daftar kepala daerah yang terjaring kasus dugaan korupsi terus bertambah.
Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek Meikarta tersebut.
Neneng merupakan kepala daerah ke-99 yang diproses KPK sejak 2004.
Kasus yang melibatkan Neneng adalah operasi tangkap tangan ke-23 pada 2018.
Sejak Januari hingga Oktober 2018, 25 orang kepala daerah telah diproses secara hukum, baik melalui operasi tangkap tangan maupun tidak.
Baca juga: Marak Korupsi Kepala Daerah, Komisi II Minta Aturan Dana Kampanye Diperbaiki
Operasi tangkap tangan terus dilakukan KPK, mengapa masih ada saja kepala daerah yang tak kapok korupsi?
Pertama, ongkos politik yang mahal.
Menurut Agus, sistem demokrasi Indonesia yang dominan ditentukan oleh kuasa partai politik membuat persaingan semakin ketat. Untuk bertarung, dibutuhkan dukungan logistik dan pembiayaan yang kuat.
"Karena orang mau masuk ke sistem politik Indonesia kan harus melalui partai. Untuk masuk kalau bukan orang partai kan ada uang mahar. Suka atau tidak suka praktik itu ada. Dan itu selalu ditanya," kata Agus kepada Kompas.com, Selasa (16/10/2018).
Baca juga: KPK Tahan 6 Tersangka Kasus Dugaan Suap Perizinan Meikarta
"Dan karena mahal itu orang-orang yang di politik praktis itu cari uang sekalian. Electoral threshold-nya kan juga rendah, sehingga partai banyak. Semakin banyak partai semakin mahal biaya politiknya. Coba kalau 10 persen, itu pasti hanya 4-5 partai," lanjut dia.
Selain itu, biaya kontestasi politik juga tak murah.
Agus mencontohkan, biaya saksi untuk mengawasi tempat pemungutan suara dan pembuatan alat kampanye sangat besar. Di satu sisi, partai tak mungkin menanggung seluruhnya.
"Tidak mungkin digotong sendiri, atau partai mendukung sepenuhnya, enggak mungkin. Partai (modalnya) dari mana?" ujar Agus.