JAKARTA, KOMPAS.com – Sejak merdeka pada 1945 hingga saat ini kursi presiden Republik Indonesia hampir selalu dipegang politisi berdarah Jawa.
Mulai dari Soekarno yang berasal dari Blitar, Soeharto dari Bantul, Abdurrahman Wahid dari Jombang, Megawati Soekarnoputri kelahiran Yogyakarta, Susilo Bambang Yudhoyono dari Pacitan, dan Joko Widodo asal Surakarta.
Satu perkecualian adalah saat BJ Habibie menjadi presdien menggantikan Soeharto yang mundur dari jabatannya pada 1998.
Hingga saat ini, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan itu menjadi satu-satunya presiden Indonesia yang bukan beretnis Jawa.
Baca juga: Relawan GNR Dukung Gatot Nurmantyo sebagai Calon Presiden di Pilpres 2019
Apa yang menyebabkan dominasi etnis Jawa di kursi presiden Indonesia?
Dosen Departemen Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati menyebutkan, kondisi tersebut dipengaruhi dua hal besar.
“Itu terkait dengan parpol yang mencalonkan dan perilaku memilih masyarakat kita,” ujar Mada saat dihubungi Kompas.com Senin (13/8/2018) siang.
Mada menjelaskan, para elite partai politik masih menggunakan asumsi aliran atau perspektif sosiologis dalam mempertimbangkan proses pencalonan karena dinilai lebih efektif untuk mendulang suara.
Sementara masyarakat, khususnya kalangan muda, melihat sirkulasi kepemimpinan nasional dengan cara yang lebih rasional.
Mereka tidak lagi mendasarkan pilihian pada hal-hal yang bersifat sosiologis seperti asal atau etnis seorang calon pemimpin.
Sayangnya perilaku memilih masyarakat akhirnya dipaksakan untuk menggunakan perspektif yang sama dengan partai politik, yakni sudut pandang sosiologis.
“Pilihannya sudah ditentukan para elite parpol. Masyarakat akhirnya hanya memaksakan pertimbangan rasional dalam keterbatasan pilihan yang ada,” ujar Mada.
Melihat fakta kontestasi politik nasional saat ini, Mada berpendapat terjadi kesenjangan antara patai politik sebagai penghasil calon pemimpin dengan masyarakat sebagai pemilik suara.
“Jadi, kayaknya ada gap ini antara elite (golongan tua) dan rakyat (terutama golongan muda). Elite tua masih melihat pentingnya politik aliran, sedangkan rakyat muda melihat sirkulasi kepemimpinan nasional dengan cara yg lebih rasional,” tuturnya.
Padahal, menurut Mada para calon pemimpin yang berasal dari luar Jawa memiliki potensi yang sama besarnya untuk berada di jajaran eksekutif negara.
Hanya saja selama ini proses kaderisasi partai politik bagi calon yang berasal dari daerah belum berjalan optimal.
“Saya berpikir perlunya kita mengelola proses sirkulasi kepemimpinan, sepertinya harapan ada di sana ketimbang mengandalkan pada pelaksanaan fungsi rekruitmen dan kaderisasi parpol yang sejauh ini tidak menunjukkan hasil yang berarti,” kata Mada.
Baca juga: Belum Jelas, Mekanisme Cuti Kampanye untuk Calon Presiden Petahana
Di akhir penjelasannya, ia memberikan pernyataan bahwa proses politik yang terjadi selama ini merupakan penyempitan dari tiga dimensi politik menjadi satu tema besar, yaitu politik aliran.
“Dimensi popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas akhirnya disempitkan ke tema politik aliran (termasuk politik identitas) ketimbang kinerja,” pungkasnya.