JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai isu mengenai keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia tak bisa dilepaskan dari situasi politik Tanah Air.
Menurut dia, isu TKA ini tak sengaja digoreng jelang Pemilu Presiden atau Pilpres 2019.
"Isu TKA ini selalu berkaitan dengan situasi politik. Kami sudah analisis itu. Apalagi ini menjelang-menjelang seperti ini (pilpres), menjadi sedap gitu untuk digulirkan," kata Moeldoko saat jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (24/4/2018).
Moeldoko pun menegaskan, isu mengenai keberadaan TKA di Tanah Air lebih banyak yang bersifat hoaks daripada fakta.
(Baca juga: Menaker: Perpres TKA Membuka Lapangan Kerja untuk Masyarakat Indonesia)
Lebih parahnya lagi, kata dia, hoaks atau kabar bohong mengenai TKA ini dicampuradukkan dengan masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
"Yang terjadi di lapangan seolah-olah semua berita TKA dari China. Ini berita yang sungguh menyesatkan," kata Moeldoko.
Moeldoko menegaskan, TKA yang bekerja di Indonesia berasal dari berbagai negara. Jumlahnya juga tidak sebanyak 10.000 seperti yang selama ini diisukan.
"Ini saya kira tidak wise, lah, tidak bijak. Jangan menggunakan SARA sebagai instrumen untuk memobilisasi opini, apalagi untuk memobilisasi untuk kepentingan-kepentingan praktis," ucap mantan Panglima TNI ini.
(Baca juga: Menaker Minta Info soal Tenaga Kerja Asing Tak Diviralkan)
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyebut bahwa TKA di Indonesia hanya berjumlah sekitar 80.000 saja, atau hanya 0,1 persen dari total penduduk Indonesia.
Hanif juga kembali menegaskan bahwa Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 hanya mengatur mengenai penyederhanaan dan percepatan prosedur perizinan bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia.
Namun, perpres itu tidak mempermudah kualifikasi yang harus dimiliki TKA.
Perpres yang belum lama diteken Jokowi tersebut mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Di DPR, muncul wacana membentuk panitia khusus angket untuk menyelidiki adanya pelanggaran dari penerbitan perpres itu.
Sementara, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan menggugat perpres tersebut ke Mahkamah Agung. Gugatan rencananya akan didaftarkan pada hari buruh 1 Mei mendatang, bersamaan dengan aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para buruh.