JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, sepanjang tahun 2017, lembaganya mengungkap 8 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia menilai angka tersebut masih sangat kecil.
"Saya janji at least tahun 2018 TPPU harus double digit. Ini memang susah ngikutin aset itu bergerak dari A ke B Ke C ke E, itu luar biasa. Jadi, kita memang harus rajin. Kalau ingin mendapatkan penyelamatan aset salah satunya melalui TPPU," ujar Laode, di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa 927/3/2018).
Ia mencontohkan sulitnya melacak aset dalam kasus KTP elektronik yang berada di 5 negara, seperti Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, Mauritius, dan India.
"Pasti ada lagi kalau dilacak. Dan kami dulu diajarin kalau mau ikutin aset itu pasti balik lagi ke kita (ke dalam negeri). Tapi beda di e-KTP, begitu dia jalan, dia stop, dia jalan stop, enggak pernah kembali. Jadi harus rajin melacak," katanya.
(Baca juga: Misteri Bocor Data e-KTP)
Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat Atas Korporasi (Beneficial Owner) Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, ia berharap bisa tercipta transparansi yang lebih baik sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara maju.
Menurut Laode, perpres ini bisa mengungkap para pemilik korporat yang memiliki kendali sebenarnya atas perusahaan. Dalam tindak pidana pencucian uang, kerapkali pelaku bersembunyi dan tak terlacak dalam data pemilik resmi suatu korporat.
"Kadang enggak ada orangnya, enggak ada namanya orang itu tetapi dia sangat kuat. Jadi kayak bisa mengendalikan korporat dengan remote kontrol," ujarnya.
(Baca juga: Dalam Kasus e-KTP, Pengacara Sebut Setya Novanto Sudah Buat Pengakuan)
Ia menilai semakin banyak hasil pencucian uang yang disembunyikan, maka akan memperburuk transparansi di suatu negara.
Dengan demikian, melalui perpres ini bisa membantu KPK dalam melakukan penyidikan dalam kasus tindak pidana pencucian uang melalui penelusuran aset sebenarnya yang dimiliki oleh koruptor.
"Berdasarkan data publik pengadilan di Indonesia ada 73 kasus pencucian uang menggunakan korporasi sekitar Rp 4,5 triliun," katanya.
Laode yakin melalui perpres tersebut, KPK dan aparat penegak hukum lainnya bisa mempersempit celah kejahatan pencucian uang demi memperkuat sistem transparansi di Indonesia.
"Kalau korupsi dibiarkan akan merusak seluruh sistem di suatu negara. Tentunya komitmen kita di G20 dalam transparansi harus diperkuat," katanya.