JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritisi kemunculan pasal penghinaan presiden dalam Revisi UU KUHP yang tengah digodok pemerintah dan DPR RI. Menurut dia, regulasi itu menunjukkan kemunduran demokrasi dan mengekang kebebasan masyarakat.
Padahal, kata Fadli, sebagai pemimpin negara, presiden harus siap diterpa kritik.
"Masa lalu pemimpin seperti Bung Karno, Bung Hatta juga seperti itu (siap dikritik). Pemimpin harus dikritik dan siap dikiritik," ujar Fadli saat ditemui di Jakarta, Sabtu (3/2/2018).
Bahkan, kata Fadli, di Inggris, perdana menteri biasa dikritik di depan umum. Menurut dia, jika jadi disahkan, pasal penghinaan presiden berpotensi menjadi pasal karet. Siapa pun bisa dijerat jika pernyataannya bernada negatif terhadap presiden.
Baca juga: Ditanya soal Polemik RKUHP, Jokowi Bilang Legislasi Urusan DPR
Ia tak sepakat jika pasal tersebut dianggap menjaga kewibawaan pemerintah.
"Kewibawaan itu dari kinerja. Kalau di demokrasi kewibawaan itu bukan dari hukum besi yang kemudian dia harus dilindungi dari kritik," katanya.
Fadli mengatakan, pasal tersebut berpotensi membentuk pemerintah yang otoritarian. Partai Gerindra, kata dia, secara tegas menolak bangkitnya pasal tersebut.
"Saya kira itu MK sudah memutuskan juga (membatalkan). Jadi, seharusnya tidak ada lagi pasal-pasal itu," ujarnya.
Baca juga: Pimpinan DPR Sebut Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Belum Disetujui
Sebelumnya, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam RKUHP.
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.