JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Advokasi Elsam Andi Muttaqien menyoroti sejumlah peraturan presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pelaksanaan program strategis nasional (PSN).
Andi menyebut bahwa sejumlah perpres itu berpotensi menimbulkan persoalan baru.
"Perpres-perpres tersebut memang memangkas waktu perizinan, tapi sekaligus memangkas instrumen perlindungan, baik perlindungan lingkungan bahkan perlindungan sosial. Bahkan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik baru," ujar Andi saat acara diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018).
Pertama, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Dalam perpres ini, pelaksana PSN bisa mendapatkan Izin Lingkungan hanya dalam jangka waktu 60 hari kerja.
(Baca juga: Megawati: Saya Sedih Masalah Lingkungan Hanya Jadi Persoalan LSM)
Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 27 Tahun 2017 tentang Izin Lingkungan sebelumnya mengatur bahwa izin lingkungan baru bisa didapatkan selama 135 hari kerja.
"Kita bisa bayangkan bagaimana kualitas penilaian Tim Amdal terhadap izin lingkungan itu," ujar Andi.
Kedua, Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Melalui Perpres ini, proses pengadaan tanah dipangkas dari yang sebelumnya 131 hari menjadi hanya 66 hari kerja saja.
Andi memastikan, tidak ada lagi ruang dan waktu bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan atau bahkan penolakan. Artinya, kualitas konsultasi publik sekaligus sosialisasi yang dilakukan pelaksana proyek tentu semakin buruk.
"Karena ketika panitia pengadaan tanah sudah menitipkan dana ganti rugi tanah kepada pengadilan negeri, maka persoalan sudah selesai dan tinggal masyarakat berhadap-hadapan dengan pengadilan yang akan melakukan eksekusi dikawal polisi," ujar Andi.
(Baca juga: Masih Banyak "PR" di Bidang Lingkungan dan Kehutanan)
Terakhir, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Lewat Inpres itu, lanjut Andi, pemerintah dapat seenaknya mengalihfungsikan lahan untuk kegiatan pembangunan PSN.
"Sangat mungkin nanti hutan di Sulawesi, Kalimantan dan Papua yang semestinya menjadi hutan, diperbolehkan untuk dibangun bandara atau pelabuhan," ujar Andi.
Andi berharap pemerintah tidak hanya mengedepankan pembangunan semata, namun juga memperhatikan azas keseimbangan lingkungan dan perlindungan hak asasi masyarakat.