JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat pleno DPP Partai Golkar memutuskan tetap mempertahankan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Namun, karena Novanto saat ini berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka Golkar menunjuk Sekjen Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum.
Ada sejumlah kondisi yang bisa membuat Novanto lengser dari kursi ketua umum.
Baca: Kalau Menang Praperadilan, Novanto Bisa Kembali Jabat Ketum Golkar
Salah satunya, jika KPK terlebih dahulu melimpahkan berkas perkara Novanto ke pengadilan, maka praperadilan dianggap gugur.
"Kalau sekiranya proses hukum itu tahapan-tahapannya dinyatakan P21 sehingga praperadilan dinyatakan gugur dengan sendirinya, maka sama dengan praperadilan ditolak oleh pengadilan karena tidak bisa diproses lebih lanjut," ujar Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (21/11/2017).
Jika Novanto tak mau mengundurkan diri, Nurdin memastikan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) akan tetap digelar dengan agenda memilih ketua umum baru.
"Apabila tidak mengundurkan diri maka rapat pleno memutuskan melakukan Munaslub," kata dia.
Baca: Golkar Tunggu Putusan Praperadilan untuk Ganti Novanto dari Ketua DPR
Sementara, jika gugatan Novanto diterima dalam proses praperadilan, maka jabatan Plt berakhir dan Novanto kembali menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
Diberitakan sebelumnya, rapat pleno DPP Golkar memutuskan menunjuk Sekjen Idrus Marham untuk menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar.
Idrus akan menjabat pelaksana tugas sampai gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto diputus.
Baca juga: Dari Dalam Tahanan, Novanto Tulis Surat Tolak Diganti dari Ketua DPR
Setya Novanto ditahan di Rutan KPK pada Senin (20/11/2017) dini hari. Dalam kasus korupsi proyek e-KTP ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut. Saat ini, Novanto memang tengah melakukan upaya praperadilan atas masalah hukum yang menjeratnya.