JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai bahwa Mayor Jenderal Purnawirawan TNI Kivlan Zen berhak untuk menganggap YLBHI sebagai sarang komunis.
Kivlan sempat menyebut bahwa YLBHI layaknya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pasalnya, menurut Kivlan, YLBHI kerap melakukan kegiatan yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, Asfinawati meminta Kivlan memaparkan bukti-bukti sebagai dasar tuduhannya tersebut.
"Kalau buat saya, di dalam negara yang demokratis orang mau bilang apa saja itu hak dia. Sekonyol apapun pernyataan, itu hak orang," ujar Asfinawati saat ditemui di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2017).
"Tentu saja kami bertanya buktinya mana. Dan saya yakin buktinya tidak pernah ada karena pernyataan itu tidak benar," kata dia.
(Baca: Kivlan Zen Sebut YLBHI Layak Dibubarkan Seperti HTI)
Asfinawati menjelaskan, YLBHI dan LBH Jakarta merupakan lembaga bantuan hukum yang memberikan layanan secara gratis atau pro bono. Setiap tahunnya LBH Jakarta menerima sekitar 1.400 kasus hukum. Begitu juga dengan 14 kantor LBH yang berada di tingkat provinsi.
Klien LBH Jakarta pun sangat beragam. Seluruh pengacara publik di YLBHI tidak pernah memandang latar belakang suku, agama, dan status sosial para kliennya.
Tercatat berbagai kasus hukum pernah dilayani 15 LBH di bawah naungan YLBHI secara pro bono, seperti kasus perburuhan, penggusuran hingga kasus pemerkosaan.
"Klien LBH itu sangat beragam. Kami tidak pernah memandang apakah dia miskin atau kaya, etnisnya apa dan aliran politiknya. Kami ini kan lembaga bantuan hukum bukan lembaga pollitik. Jadi yang kami lihat apakah ada persoalan hukumnya atau tidak," tutur Asfinawati.
(Baca: Kivlan Akui Hadir dalam Rapat Aliansi Pemuda Sebelum Pengepungan YLBHI)
"Kasus-kasus yang pernah kami tangani itu mulai dari kelompok buruh, kaum miskin kota dan korban penggusuran. Kalau di 15 kantor lainnya ada masalah petani yang dirampas lahannya. Ada kasus pasar tradisional yang dibakar. Ada kasus KDRT dan pemerkosaan," ucapnya.
Sejak berdiri, lanjut Asfinawati, YLBHI juga pernah menangani berbagai kasus hukum yang bersinggungan dengan persoalan politik. LBH Jakarta pernah mendampingi korban-korban kerusuhan Mei 1998 yang rata-rata berasar dari warga etnis Tionghoa.
Kemudian, menangani kasus HR Dharsono, seorang purnawirawan TNI AD yang menjadi salah satu tokoh Petisi 50. Pada 8 November 1984, Dharsono ditahan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di LP Salemba. Ia diajukan ke pengadilan pada 19 Agustus 1985 dan dinyatakan bersalah melakukan delik politik dan tindak subversif terhadap pemerintahan Soeharto.
Selain Dharsono, Sri Bintang Pamungkas juga pernah menjadi klien YLBHI saat dituduh makar oleh pemerintah Orde Baru.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.