JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengakui, tidak mudah mengusut tuntas kasus penyebaran ujaran kebencian dan konten berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) oleh kelompok Saracen di media sosial.
Sebab, kelompok tersebut memiliki 800.000 anggota di grup media sosial. Ini termasuk akun-akun yang dibajak dengan cara ilegal. Oleh karena itu, penyidik perlu kecermatan dan ketelitian tinggi untuk mencari jejak kelompok tersebut.
"Kan satu-satu digali sama penyidik. Dilihat, dia terkait apa tidak. Ini yang sedang dikerjakan," ujar Martinus di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Nantinya, dari temuan-temuan yang ada, akan dikorelasikan dengan fakta hukum lainnya. Termasuk, dengan laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang hingga saat ini belum diterima polisi.
(Baca juga: Polisi Telusuri Aliran Rekening Saracen 3 Tahun ke Belakang)
Dengan demikian, penyidik bisa mengetahui dengan siapa saja transaksi keuangan dilakukan dan mencari pihak pemesan.
"Apakah ada percakapan, komunikasi, aliran dana, atau pertemuan. Harus satu-satu digali. Jika seseorang berkata A, kita tidak langsung percaya yang dikatakan A. Kita gali lagi info dari lainnya. Kita sandingkan apakah benar dari fakta itu," kata Martinus.
Dari jejak digital, ditemukan adanya akses ilegal oleh tersangka Jasriadi, ketua Saracen, terhadap sejumlah akun media sosial. Orang yang merasa akunnya dibajak pernah melaporkan dugaan tersebut ke polisi.
Namun saat itu belum diketahui bahwa Jasriadi yang melalukan.
"Jasriadi dengan kemampuannya banyak masuk ke akun seseorang, akun yang ada grupnya yang cukup banyak," kata dia.
"Ini pekerjaan yang butuh waktu besar, butuh ketekunan penyidik untuk memeriksa satu per satu," ujar dia.