KEMANUSIAAN telah menanggung penderitaan dan ketidakadilan selama beradab-abad. Itulah keprihatinan Syeikh Kabir E Helminski (70). Dia mengajak kita semua menyembuhkan luka-luka kemanusiaan yang menimbulkan kemarahan dan kekerasan.
Perang melawan teror seperti di Afganistan dan Irak, gagal total. Uang sebanyak apa pun tak dapat menyelesaikan masalah.
Kini Imperium (kekuatan adidaya) itu tak lagi perkasa. Kekerasan menimbulkan lebih banyak kekerasan. Mari kita mulai menyembuhkan luka-luka kemanusiaan.
Syeikh Kabir adalah pemuka tarekat Sufi yang sebagian besar ajarannya berdasarkan ajaran Mevlana, lebih dikenal sebagai Jalaluddin Rumi. Salah satu guru utamanya Suleyman Hayati dari Konya, Turki.
Kabir dikukuhkan sebagai syeikh tahun 1990 oleh Calalettin Celebi, pemimpin Tarekat Mevlevi, dan tercatat sebagai tokoh Muslim pertama yang memberi ceramah prestijius Harold M Wit Lectures, di Harvard Divinity School, mengenai Spiritualitas Dalam Kehidupan Kontemporer, tahun 2001.
Satu di antara 20 pakar Islam yang menyerukan perdamaian dan kesalingpengertian kepada pemimpin Kristiani—dengan menandatangani surat terbuka, ”A Common Word Between Us and You” (13/10/07)—itu berada di Indonesia, beberapa waktu lalu.
Dia memenuhi undangan Halaqah Internasional bertema ”Menuju Rekonstekstualisasi Islam demi Perdamaian Dunia dan Harmoni Peradaban” yang diselenggarakan Gerakan Pemuda Ansor di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, akhir Mei 2017.
Pembicara lain yang diundang berasal dari AS, Maroko, Jerman, Perancis, Mesir, Swedia, dan Malaysia.
Esensi Islam
Bersama Threshold Society—didirikan bersama istrinya, Camille Helminski—selama lebih 30 tahun, dia mengembangkan dan membagi pendekatan kontemporer tentang praktik dan konsep-konsep Islam.
Di Jakarta, dia memenuhi undangan kelompok Pusaka Hati, suatu lingkaran pengkaji sufisme dan ajaran-ajaran esoterik.
Pada tahun 2009, Kabir disebut sebagai satu dari 500 Muslim paling berpengaruh di dunia oleh Royal Islamic Strategic Studies Center yang bekerja sama dengan Georgetown University.
Bagaimana Anda memandang acara di Jombang?
Mereka sedang berupaya merekontekstualisasikan aspek-aspek tertentu dari Hukum Islam (Fiqh) yang penting dalam pertarungan gagasan dan memperjuangkan roh Islam. Ini adalah awal suatu gerakan yang diharapkan akan diadaptasi di negara-negara lain.
Islam Nusantara (Islam Indonesia) dapat menjadi model bagaimana esensi ajaran Islam dapat mencerahkan dan memunculkan yang terbaik di dalam budaya lain. Islam yang hidup dan dipraktikkan di Eropa atau Amerika akan indah jika didasarkan pada nilai-nilai terbaik pada peradaban Barat.
Wahyu akan selalu menjadi kritik atas kemasyarakatan manusia dan kegagalannya. Namun, wahyu yang hadir melalui Al Quran juga mengakui bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali kosong dari kearifan spiritual dan tuntunan Ilahi.
Baca juga:
Islam Nusantara, Islam Damai untuk Dunia
Islam Nusantara, Islam Kaffah
Bagaimana Anda melihat situasi saat ini?
Muslim di seluruh dunia sangat menderita menyaksikan agama mereka terdegradasi dan digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak bersalah. Kita tahu, itu bukan Islam, tetapi tidak semua orang memahami hal itu.
Sejak tragedi 11 September, secara sadar maupun tidak, dunia telah mengatakan, ”Tunjukkan, agar kami tidak harus takut pada Anda.” Kita belum berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kita adalah sekutu dalam kerja bersama untuk mencapai keadilan yang welas asih dan menjunjung martabat manusia.