JAKARTA, KOMPAS.com - Pasca-pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pemerintah tidak akan langsung menjatuhkan sanksi pidana terhadap pengurus maupun anggota ormas tersebut.
Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (Jamintel) Adi Toegarisman mengatakan, aparat penegak hukum tidak bisa dengan mudah menjatuhkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Sebab, sanksi pidana di dalam Perppu Ormas bersifat ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir yang diterapkan oleh aparat penegak hukum.
"Kita ini negara hukum. Tidak semudah itu. Sanksi pidana di perppu itu sifatnya alternatif dan kami sepakat posisinya ultimum remedium," ujar Adi dalam sebuah acara diskusi bertajuk 'Tindak Lanjut Penerbitan Perppu Nomor 02 Tahun 2017', di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (21/7/2017).
(baca: Polisi Akan Bubarkan Kegiatan HTI jika Tetap Beraktivitas)
Adi menuturkan, tujuan pemerintah menerbitkan Perppu Ormas adalah untuk menertibkan ormas-ormas yang berideologi anti-Pancasila.
Oleh karena itu, upaya pencegahan penyebaran paham radikal dan pemberdayaan ormas lebih diutamakan oleh pemerintah.
Penerapan sanksi pidana, kata Adi, bisa diterapkan apabila pengurus maupun anggota ormas tetap melakukan kegiatan setelah status badan hukumnya dicabut.
"Kalau sudah dibubarkan, sadari dan jangan berbuat kembali," ucapnya.
(baca: Wiranto: HTI Melawan Hukum Kalau Masih Beraktivitas)
HTI berkali-kali menegaskan pihaknya tidak anti-Pancasila. Mereka menganggap pemerintah bertindak sewenang-wenang mencabut status bahan hukum.
HTI akan menempuh jalur pengadilan untuk melawan keputusan pemerintah. Selain itu, HTI bersama ormas lain mengajukan uji materi Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi.
Perppu Ormas yang diterbitkan pemerintah mengatur sanksi pidana terhadap anggota atau pengurus organisasi kemasyarakatan yang pro-kekerasan dan anti-Pancasila.
Sebelumnya ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU Ormas.
Pasal 82A ayat (1) Perppu Ormas menyebutkan bahwa anggota dan/atau pengurus ormas yang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu keamanan, ketertiban dan melakukan tindakan yang menjadi wewenang penegak hukum, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama satu tahun.