SEPANJANG tahun 2017 tercatat dua pemimpin negara berpengaruh telah menginjakkan kaki di Indonesia. Raja Salman King Abdul Aziz Al Saud dari Arab Saudi dan Barack Obama dari Amerika Serikat.
Kunjungan yang terbaru oleh Obama selama 10 hari dari tanggal 23 Juni – 2 Juli. Beberapa bulan sebelumnya, Raja Salman selama 12 hari dari tanggal 1-12 maret memanfaatkan tiga hari untuk bekerja dan sembilan hari sisanya untuk berlibur di Pulau Bali.
Bagi Obama, Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi selepas purna tugas sebagai Presiden ke 44 Amerika Serikat. Pun Raja Salman ke Indonesia saat itu merupakan yang terlama dibandingkan dengan negara Asia lainnya sepanjang rangkaian misi lawatannya.
Kunjungan obama kali ini jauh berbeda dibandingkan tahun 2010 yang tidak lebih dari 24 jam, kini bertema "back to nature". Hal ini tergambar dari aktivitas yang dilakukan didominasi luar ruang (outdoor), seperti bermain air jeram dan menyambangi hutan Becici di Bantul Yogyakarta.
Selain ke Pura Tirta Empul, Jatiluwih di Bali, kemudian Borobudur, Prambanan Jawa Tengah dan Istana Bogor. Terakhir, hadir di kongres diaspora Indonesia. Skema kunjungan obama santai-serius.
Agak berbeda dengan Raja Salman serius-santai, lazimnya kepala negara aktif. Mengawali fokus kunjungan dengan melakukan serangkaian Memorandum of Understanding (MoU) penguatan kerjasama di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan dan agama. Kemudian mengkahiri dengan tema liburan dalam kerangka "Tourism Halal Destination" di Bali.
Sarat makna dan momentum
Secara eksternal, kunjungan kedua tokoh ini memiliki makna yang luar biasa dalam penguatan diplomasi Indonesia di tingkat global. Terlebih keduanya hadir dari latar belakang sistem politik serta budaya yang sangat jauh berbeda.
Raja Salman tumbuh dalam sistem monarki dan budaya feodalisme, sedangkan Obama datang dari sistem demokrasi dengan budaya iberal. Meski tak bersinggungan langsung, kedua tokoh tersebut dalam satu scene yang sama, namun secara faktual membuktikan bahwa Indonesia tempat yang nyaman untuk mereka sambangi berlama-lama.
Setidaknya ini menjadi bukti dan pukulan telak bagi negara-negara di kawasan yang seringkali mengunggulkan sektor pariwisata. Malaysia boleh punya "Truly Asia", Thailand punya objek wisata Phuket atau Singapura dengan beragam sajian hiburan.
Ternyata untuk ‘level dan selera’ kepala negara, bukan tempat wisata semacam itu yang dibutuhkan mereka. Tentu saja pada akhirnya momentum ini harus mampu dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia sebagai magnet dan menjadi daya ungkit dalam menarik jutaan wisatawan dari kawasan Amerika dan Eropa, Juga Timur Tengah.
Di sisi lain, harus disadari banyak daerah objek wisata di Indonesia karakteristiknya lekat dengan kehidupan agama. Masyarakatnya hidup dalam suasana dan simbol-simbol agama.
Situasi tersebut seringkali dianggap sebuah hipotesis yang menghambat perkembangan pariwisata. Tak ayal, kehadiran kedua tokoh ini juga secara simultan telah menyampaikan pesan penting bahwa tidak ada hambatan berarti di negeri ini.
Obama ke Bali, pun demikian Raja Salman. Tak ada halangan dan hambatan untuk Raja Salman dan Rombongan untuk menikmati sajian "Halal Tourism Packages" di Bali.
Menjadi bukti saling beradaptasi dan menyesuaikan, makna diplomasi budaya yang monumental. Artinya tak perlu ada benturan peradaban (clash of civilizations) meminjam istilah fenomenal Samuel P Huntington yang menekankan identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik.
Secara internal tentu saja segenap komponen bangsa tidak boleh lekas berpuas diri atas apa yang telah dicapai. Justru sudah sepantasnya terus memperbaiki dan melengkapi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.