JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil mantan Direktur PT PAL M Firmansyah Arifin sebagai saksi kasus suap pengadaan kapal perang jenis Strategic Sealift Vessel (SSV) untuk pemerintah Filipina.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, M Firmansyah Arifin diperiksa untuk tersangka GM Treasury PT PAL Arief Cahyana.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka AC," kata Febri, saat dikonfirmasi, Rabu (24/5/2017).
Firmansyah merupakan salah seorang tersangka dalam kasus ini. Selain Arief dan Firmansyah, KPK juga menetapkan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar dan pegawai Ashanti Sales Inc Agus Nugroho sebagai tersangka.
(Baca: Kasus Suap di PT PAL Bukti Rentannya Korupsi Sektor Pertahanan)
Awal terungkapnya kasus ini pada terjadi Kamis (30/3/2017). Saat itu terjadi komunikasi antara General Manager Treasury PT PAL Indonesia, Arif Cahyana dan Agus Nugroho yang merupakan pegawai Ashanti Sales Inc.
Ashanti Sales Inc merupakan perusahaan perantara antara PT PAL Indonesia dan pemerintah Filipina dalam proses pembelian kapal perang.
Arif saat itu sedang menuju bandara di Jakarta untuk kembali ke Surabaya. Namun, sebelum menuju Bandara, Arif dan Agus bertemu di MTH Square di Cawang, Jakarta Timur.
Diduga, dalam pertemuan itu terjadi penyerahan uang dari Agus kepada Arif. Petugas kemudian menangkap Arif di tempat parkir dengan barang bukti uang 25.000 dollar AS.
Setelah menangkap Arif, petugas KPK menangkap Agus dan tujuh pegawai Ashanti Sales Inc.
Pada hari yang sama, sekitar pukul 22.00, KPK menangkap Direktur Utama PT PAL Indonesia, M Firmansyah Arifin, dan enam orang lainnya di Kantor PT PAL di Surabaya.
(Baca: Dirut dan GM Treasury PT PAL Indonesia Ditahan KPK)
Firmansyah, Arif Cahyana dan Saiful Anwar disangka melanggar Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara, Agus Nugroho sebagai pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.