JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pengungkapan kasus dugaan korupsi penjualan kapal Strategic Sealift Vessel (SSV) kepada Filipina.
Dalam kasus tersebut, KPK menangkap Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia, perusahaan pembuat kapal tersebut.
Menurut Al Araf, pengungkapan kasus tersebut membuktikan rentannya sektor pertahanan menjadi lahan penyimpangan korupsi. Khususnya terkait pengadaan alutsista.
"Kami apresiasi langkah KPK dalam pengusutan PT PAL. Langkah itu harus ditindaklanjuti adanya keterlibatan pihak lain," ujar Al Araf di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2017).
(Baca: Dirut dan Pejabat PT PAL Indonesia Dijanjikan "Fee" Rp 14 Miliar)
Menurut Al Araf, potensi korupsi sektor pertahanan melalui pembelian alutsista sangat banyak, mulai dari pembelian hingga perawatan.
Pola korupsinya terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, penggelembungan harga pembelian alutsista, pembelian alutsista dibawah spesifikasi semestinya, atau pemangkasan biaya perawatan.
Namun demikian, sulit bagi KPK mengusut berbagai kasus korupsi di kemiliteran.
Menurut Al Araf, selama ini kasus pidana yang melibatkan anggota TNI akan diselesaikan di pengadilan Militer. Hal itu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer.
(Baca: Kronologi Operasi Tangkap Tangan Pejabat PT PAL Indonesia)
"Sehingga lembaga seperti KPK sulit melakukan investigasi dugaan korupsi yang melibatkan oknum TNI," kata dia.
Dalam kasus ini, PT PAL Indonesia melayani pembuatan dua kapal perang untuk pemerintah Filipina. Proses pembelian yang disepakati pada 2014 tersebut melibatkan perusahaan perantara AS Ashanti Sales Inc.
Proyek pembelian dua kapal perang tersebut senilai 86,96 juta dollar AS. Diduga, pejabat PT PAL menyepakati adanya cash back dengan perusahaan perantara, dari keuntungan penjualan sebesar 4,75 persen.
Keuntungan sebesar 1,25 persen atau senilai 1,087 juta dollar AS diberikan kepada pejabat PT PAL. Sementara, keuntungan 3,5 persen menjadi bagian untuk perusahaan perantara.